Tidur
merupakan proses fisiologis yang komplek. Ia melibatkan serangkaian keadaan yang
dipertahankan fungsi luhur dari aktivitas sistem saraf pusat yang berkaitan
dengan perubahan-perubahan pada sistem saraf perifer, sistem endokrin, sistem kardiovaskuler,
sistem respirasi, dan sistem muskuloskeletal. Ada beberapa macam
posisi tidur yaitu: tidur terlentang, tidur miring, dan tidur tengkurap.
Posisi tidur
terlentang yaitu
posisi tidur sangat ideal untuk
mencegah nyeri leher dan punggung, tidur miring mempunyai kelemahan mempercepat
timbulnya kerutan di wajah dan gangguan pada rahang karena tekanan pada satu
sisi. Menurut Dr.Roshini Rajapaksa pada posisi tidur miring semua tekanan akan
berada pada satu sisi yang menghadap bantal. Tidur tengkurap memberi tekanan
pada sendi dan otot-otot tubuh sehingga dapat mengiritasi saraf dan menyebabkan
nyeri. Selain itu dalam posisi ini kepala akan berada pada satu sisi dalam
waktu lama sehingga leher akan terasa pegal.
Articulatio temporomandibulare adalah sendi temporomandibula
yang sangat kompleks di dalam tubuh manusia. Sendi ini memberikan pergerakan
engsel pada satu bidang sehingga dapat dianggap sebagai sendi ginglymoid. Pada waktu yang sama juga
melakukan pergerakan meluncur sehingga disebut sebagai sendi ginglymoarthroidal.
Selama proses pengunyahan sendi temporomandibula menopang tekanan yang cukup
besar. Oleh karena itu, sendi temporomandibula mempunyai diskus artikularis
untuk menjaga agar kranium dan mandibula tidak bergesekan. Sendi temporomandibular dibentuk oleh os mandibular condyle yang berada pada mandibular fossa dari os temporale. Diskus artikularis memisahkan ke dua bagian ini sehingga artikulasi
dapat berlangsung. Articular disk merupakan
tulang lunak, secara fungsional diskus ini dapat melakukan gerakan kompleks
pada sendi dan berfungsi sebagai permukaan artikular sendi tersebut. Sendi
temporomandibula tidak luput dari kelainan seperti yang terjadi pada sendi sinovial
lain. The National Institute of Dental
Research mengklasifikasikan kelainan sendi temporomandibula dalam 3 kategori,
yaitu kelainan otot pengunyahan, kelainan pada kompleks kondilus-diskus, dan
penyakit degeneratif sendi.
Kelainan sendi temporomandibula yang paling sering
terjadi adalah disebabkan oleh kelainan otot, yang disebut sebagai nyeri
miofasial, dan disfungsi sendi temporomandibula. Schwartz merupakan orang
pertama yang menemukan bahwa terdapat sejumlah pasien yang mempunyai masalah
dengan sendi temporomandibula ternyata juga menunjukkan gejala spasme pada otot-otot
pengunyahan. Spasme otot ini menyebabkan rasa sakit dan keterbatasan dalam
pergerakan mandibula. Schwartz (1960) menyebutnya dengan sindroma disfungsi
nyeri sendi temporomandibula (temporomandibular
joint pain-dysfunction syndrome) atau yang lazim disebut dengan istilah
sindroma disfungsi nyeri miofasial (myofacial
pain dysfunction syndrome MPD).
Disfungsi sendi temporomandibular disebabkan oleh
banyak faktor, antara lain disebabkan oleh beban pengunyahan pada gigi yang
terlalu besar, pengecilan otot rahang, dan ketegangan dari otot-otot pendukung
sendi temporomandibula. Selain itu dapat disebabkan oleh, sikap tubuh yang
salah (salah satunya posisi tidur yang salah), kebiasaan oral yang buruk, kerusakan
fascia akibat trauma atau penyakit.
Smith di dalam The
Atlas of Temporomandibular Orthopedics mengemukakan bahwa ada hubungan
antara kelainan sendi rahang dengan sikap tubuh yang salah, yang dapat
mengakibatkan kelainan fungsi pada
fascia (pembungkus) otot, menyebabkan kelainan sendi rahang karena seluruh
fascia di dalam tubuh saling memiliki keterkaitan hubungan, sehingga adanya
kelainan pada salah satu organ tubuh akan berakibat kelainan pada organ
lainnya. Sekitar 80-90% kelainan sendi rahang berhubungan dengan
otot-otot tubuh, khususnya otot di daerah kepala, leher dan pundak.
Hiperaktifitas otot dapat mengakibatkan kelainan sendi rahang yang menyebabkan
rasa sakit di sekitar daerah rahang.
Posisi tidur yang salah yang dimaksud adalah kebiasaan
posisi tengkurap dengan leher yang melengkung 90 derajat ke salah satu sisi
(posisi lateral) memberikan dampak yang sama seperti orang yang membengkokan
kepalanya di sepanjang hari , pada orang yang memiliki kebiasaan tidur dengan
menyelipkan tangannya di bawah bantal sehingga posisi kepala menjadi lebih tinggi
dapat memberikan gejala yang sama dengan posisi tidur tengkurap, yaitu posisi
pleksus brakhialis berada di atas tulang costae
claviculae. Posisi seperti ini sangat buruk bagi otot-otot di daerah leher
dan dapat menyebabkan torticollis
(kontraksi otot leher) akut pada m.
sternocleidomastoideus. Posisi tidur tengkurap perlu dihindari karena
menyebabkan sakit di sekitar leher dan sakit kepala ketika bangun. Posisi tidur
yang baik adalah dengan menggunakan punggung belakang.
Salah
satu etiologi gangguan pada sendi temporomandibula adalah akibat trauma, kesalahan
posisi tidur yang terus menerus membuat trauma pada sistem muskoloskeletal. Mikrotrauma
yaitu adanya kekuatan kecil yang berulang kali bekerja pada struktur otot,
sendi, dan gigi dalam periode waktu yang lama, selanjutnya makrotrauma adalah
kekuatan mendadak sehingga menyebabkan perubahan pada struktur tersebut. Kesalahan
posisi tidur yang menyebabkan mikrotrauma dapat menimbulkan nyeri miofascial.
Sindroma nyeri miofascial ini dicirikan dengan adanya
spasme otot, tenderness, stifness (kekakuan), keterbatasan gerak,
kelemahan otot dan sering pula timbul disfungsi autonomik pada area yang
dipengaruhi yang umumnya gejala timbul cukup jauh dari trigger area. Kondisi ini sering ditemukan pada leher, bahu,
punggung atas, punggung bawah dan ekstremitas bawah. Pada kondisi sindroma nyeri miofasial umumnya
pasien datang dengan keluhan nyeri yang menjalar apabila dilakukan penekanan
pada daerah tersebut, sehingga ditemukan adanya taut band yaitu
berbentuk seperti tali yang membengkak yang ditemukan di dalam otot, sehingga membuat pemendekan serabut otot secara terus-menerus, dan terjadi peningkatan ketegangan
serabut otot. Pembebanan otot yang terus-menerus atau karena penggunaan
yang berlebihan, menyebabkan otot mengalami
ketegangan atau kontraksi terus-menerus dan menimbulkan stress mekanis pada jaringan miofasial dalam waktu yang lama. Hal tersebut akan menstimulasi nosiseptor yang ada di dalam
otot. Semakin sering dan kuat nosiseptor
tersebut terstimulasi maka akan semakin kuat aktifitas refleks
ketegangan otot tersebut. hal ini akan meningkatkan nyeri sehingga menimbulkan siklus viskoud. Kondisi siklus viskous akan mengakibatkan iskemik lokal jaringan miofascial akibat dari kontraksi
otot yang kuat dan terus-menerus atau mikrosirkulasi yang tidak adekuat. Akibatnya adalah jaringan mengalami kekurangan nutrisi dan oksigen
serta menumpuknya zat-zat sisa metabolisme. Keadaan tersebut akan merangsang ujung-ujung saraf tepi nosiseptor tipe C melepaskan suatu neuropeptida yaitu substansi
P. Pelepasan substansi P akan membebaskan prostaglandin dan diikuti juga dengan pembebasan bradikinin,
potassium ion, serotonin, yang merupakan noxius atau chemical stimuli yang
dapat menimbulkan nyeri.
Nyeri sindroma miofascial yang di akibatkan oleh cidera, inflamasi, strain
yang hebat dapat menyebabkan fascia
menjadi jaringan parut (scarred) dan mengeras. Hal ini mengakibatkan tidak hanya peningkatan ketegangan,
nyeri, sensitivitas struktur yang berdekatan dengan fascia juga pada daerah yang lain. Selain itu fascia juga mendapatkan tekanan pada kasus-kasus trauma,
stress biomekanis yang intermitten dan immobilisasi.Reaksi normal fascia terhadap strecor adalah meningkatkan kepadatan fascia dan
seringkali daerah tersebut menjadi trigger point. Walaupun trigger point
kadang-kadang dapat diraba, keberadaanya lebih sering ditegakkan dari
reaksi nyeri pasien pada waktu ditekan. Besarnya trigger point diperkirakan
sekitar 3-6 mm, trigger point disebabkan darah dan bahan ekstraselular
yang tidak diserap terjadi kerusakan pada
jaringan lunak. Adanya perlekatan otot menyebabkan hambatan aktivitas menggunakan otot yang
mengakibatkan ketegangan, kekakuan dan terbentuknya iritan lebih lanjut.
Gejala umum yang terjadi akibat dari nyeri miofascial berupa
nyeri disertai keterbatasan membuka mulut, sakit kepala dan rasa sakit yang
dalam serta konstan sehingga menyebabkan efek eksitator (perangsang) sentral
pada area yang jauh. Karakteristik spesifik pada nyeri miofascial adalah nyeri
yang terlokalisir, adanya taut band, kelelahan
pada otot yang berlebihan dan rasa kaku pada daerah muskuloskeletal (biasanya
pada malam hari).
Posisi
tidur yang tepat sangat penting untuk mengistirahatkan otot-otot tubuh. Posisi
tidur yang tidak tepat dapat mengakibatkan kontraksi otot serta ketegangan otot yang lebih lama dari rileksasi
(dimana otot tidak berkontraksi secara terus menerus) keadaan yang melebihi
batas critical load, menimbulkan
kelelahan otot (penumpukan asam laktat yang berlebih) dan berujung pada kelainan fungsi otot
khususnya daerah kepala, leher dan bahu. Kelainan otot tersebut juga dapat
mengakibatkan kelainan pada sendi temporomandibula.
Kesimpulan
Posisi tidur yang salah memberikan
dampak trauma pada sistem muskuloskeletal, trauma akibat posisi tidur yang salah adalah mikrotrauma yaitu trauma kecil yang terus-menerus
dan mengakibatkan hiperaktivitas otot lalu
menimbulkan rasa sakit serta keterbatasan fungsi pada sendi temporomandibula
dan menyebabkan kelainan otot. Hiperaktivitas
otot menyebabkan otot berkontraksi terus-menerus. Tidur
seharusnya mengistirahatkan otot tetapi jika posisinya salah justru akan
menyebabkan otot terus berkontraksi sehingga menyebabkan kelelahan otot dan terjadi
penumpukan asam laktat yang berlebih . Kelelahan
tersebut lambat laun menyebabkan spasme
lokal, bila berlangsung lama menimbulkan taut
band. Taut band akan menstimulasi fibroblas di dalam fascia untuk
menghasilkan lebih banyak kolagen, hal tersebut dapat mengakibatkan
nyeri miofascial dan gangguan
sendi temporomandibula berupa rasa
sakit atau nyeri pada rahang. Hubungan
antara gangguan sendi rahang dengan posisi tidur yang salah, dapat
mengakibatkan kelainan fungsi pada fascia otot lalu menyebabkan gangguan pada
sendi temporomandibula karena seluruh fascia di dalam tubuh saling memiliki
keterkaitan hubungan, khususnya otot di daerah kepala, leher, dan bahu.
Sumber :
Snell S Richard. Anatomi
Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Ed. Ke-3. Jakarta: EGC; 1997: 213-216.
Holdcroft
A, Power I. Management of Pain.
BMJ; 2003: 126-139.
Liebgott
B. Dasar-Dasar Anatomi Kedokteran Gigi. Penerjemah: I. Karniasari dan L.
Yuwono. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran; 1995: 203-291
Kardos,T
& Kieser Jules. Clinical
Oral Biology. Ed. Ke-2.
Dunedin: Unigraphics ITS;
2000: 33-37,
53-62,93-101.
Odaci,E. Face Embriology. 2005
Available: http://www. Emedicine.com/ent/topic30.html.
5starhealt.
Temporomandibular Anatomy.
Dentistry and Oral Sciences. 2006.
Available: http://www.starhealth.com/dentistry/tmj/tmj/anatomi.html
Anton Margo. Modul 706 Tanda dan Gejala Kelainan TMJ.
Fakultas Kedokteran Gigi Trisakti 2014.
Rasmi R, Zaalhaq M. Kurnikasari E. Pengaruh Bad Postural
Habit Terhadap Kelainan Sendi Rahang. Bagian prostodonsia FKG Unpad.2006.
AD
Dixon. Anatomi untuk
kedokteran gigi. Ed. ke-5. Jakarta:
Hipocrates; 1993:101-115.
John M DC, DACO. TMJ Syndrom
National insitute of dental an craniofacial research. 2011.
No comments:
Post a Comment