Psikologi
humanistik atau disebut juga dengan nama psikologi kemanusiaan adalah suatu pendekatan
yang multifaset terhadap pengalaman dan tingkah laku manusia, yang memusatkan
perhatian pada keunikan dan aktualisasi diri manusia. Bagi sejumlah ahli
psikologi humanistik ia adalah alternatif, sedangkan bagi sejumlah ahli
psikologi humanistik yang lainnya merupakan pelengkap bagi penekanan
tradisional behaviorisme dan psikoanalis.
Kehadiran psikologi humanistik muncul sebagai reaksi atas
aliran psikoanalisis dan behaviorisme serta dipandang sebagai “kekuatan ketiga”
dalam aliran psikologi. Psikoanalisis dianggap sebagai kekuatan pertama dalam
psikologi yang awal mulanya datang dari psikoanalisis ala Freud yang berusaha
memahami tentang kedalaman psikis manusia yang dikombinasikan dengan kesadaran
pikiran guna menghasilkan kepribadian yang sehat. Kelompok psikoanalis
berkeyakinan bahwa perilaku manusia dikendalikan dan diatur oleh kekuatan tak
sadar dari dalam diri.
Kekuatan psikologi yang kedua adalah behaviorisme yang
dipelopori oleh Ivan Pavlov dengan hasil pemikirannya tentang refleks yang
terkondisikan. Kalangan Behavioristik meyakini bahwa semua perilaku
dikendalikan oleh faktor-faktor eksternal dari lingkungan.
Dalam mengembangkan teorinya, psikologi humanistik sangat
memperhatikan tentang dimensi manusia dalam berhubungan dengan lingkungannya
secara manusiawi dengan menitik-beratkan pada kebebasan individu untuk
mengungkapkan pendapat dan menentukan pilihannya, nilai-nilai, tanggung jawab personal,
otonomi, tujuan dan pemaknaan. Dalam hal ini, James Bugental (1964)
mengemukakan tentang 5 (lima) dalil utama dari psikologi humanistik, yaitu: (1)
keberadaan manusia tidak dapat direduksi ke dalam komponen-komponen; (2)
manusia memiliki keunikan tersendiri dalam berhubungan dengan manusia lainnya;
(3) manusia memiliki kesadaran akan dirinya dalam mengadakan hubungan dengan
orang lain; (4) manusia memiliki pilihan-pilihan dan dapat bertanggung jawab
atas pilihan-pilihanya; dan (5) manusia memiliki kesadaran dan sengaja untuk
mencari makna, nilai dan kreativitas.
Aliran Psikologi
Humanistik selalu mendorong peningkatan kualitas diri manusia melalui
penghargaannya terhadap potensi-potensi positif yang ada pada setiap insan.
Seiring dengan perubahan dan tuntutan zaman, proses pendidikan pun senantiasa
berubah.
Aliran
humanistik muncul pada tahun 1950-an sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap
pendekatan psikoanalisa dan behavioristik. Sebagai sebuah aliran dalam psikologi,
aliran ini boleh dikatakan relatif masih muda, bahkan beberapa ahlinya masih
hidup dan terus-menerus mengeluarkan konsep yang relevan dengan bidang pengkajian
psikologi, yang sangat menekankan pentingnya kesadaran, aktualisasi diri, dan
hal-hal yang bersifat positif tentang manusia.
Tokoh-tokoh Penting dalam Aliran
Humanistik dan Teorinya
1. Abraham Maslow
Abraham H.
Maslow adalah tokoh yang menonjol dalam psikologi humanistik. Karyanya di bidang
pemenuhan kebutuhan berpengaruh sekali terhadap upaya memahami motivasi
manusia. Sebagian dari teorinya yang penting didasarkan atas asumsi bahwa dalam
diri manusia terdapat dorongan positif untuk tumbuh dan kekuatan-kekuatan yang
melawan atau menghalangi pertumbuhan (Rumini, dkk. 1993).
Abraham Harold
Maslow dilahirkan di Brooklyn, New York, pada tanggal 1 April 1908. Maslow
dibesarkan dalam keluarga Yahudi Rusia dengan orang tua yang tidak mengenyam
pendidikan tinggi. Pada masa kecilnya, ia dikenal sebagai anak yang kurang
berkembang dibanding anak lain sebayanya. Ia mengatakan bahwa dirinya adalah
seorang anak Yahudi yang tumbuh dalam lingkungan yang mayoritas dihuni oleh non
Yahudi.
Ia merasa
terisolasi dan tidak bahagia pada masa itu. Ia bertumbuh di perpustakaan di
antara buku-buku. Ia awalnya berkuliah hukum, namun pada akhirnya, ia memilih
untuk mempelajari psikologi dan lulus dari Universitas Wisconsin. Pada saat ia
berkuliah, ia menikah dengan sepupunya yang bernama Bertha pada bulan desember
1928 dan bertemu dengan mentor utamanya yaitu profesor Harry Harlow. Ia
memperoleh gelar bachelor pada 1930, master pada 1931, dan Ph.D pada 1934.
Maslow kemudian memperdalam riset dan studinya di Universitas Columbia dan
masih mendalami subjek yang sama. Di sana ia bertemu dengan mentornya yang lain
yaitu Alfred Adler, salah satu kolega awal dari Sigmund Freud.
Pada tahun
1937-1951, Maslow memperdalam ilmunya di Brooklyn College. Di New York, ia
bertemu dengan dua mentor lainnya yaitu Ruth Benedict seorang antropologis, dan
Max Wertheimer seorang psikolog Gestalt, yang ia kagumi secara profesional maupun
personal. Kedua orang inilah yang kemudian menjadi perhatian Maslow dalam
mendalami perilaku manusia, kesehatan mental, dan potensi manusia. Ia menulis
dalam subjek-subjek ini dengan mendalam. Tulisannya banyak meminjam dari
gagasan-gagasan psikologi, namun dengan pengembangan yang signifikan. Penambahan
tersebut khususnya mencakup hirarki kebutuhan, berbagai macam kebutuhan,
aktualisasi diri seseorang, dan puncak dari pengalaman. Maslow menjadi pelopor
aliran humanistik psikologi yang terbentuk pada sekitar tahun 1950 hingga
1960-an. Pada masa ini, ia dikenal sebagai "kekuatan ke tiga" di
samping teori Freud dan behaviorisme.
Maslow menjadi
profesor di Universitas Brandeis dari 1951 hingga 1969, dan menjabat ketua
departemen psikologi di sana selama 10 tahun. Di sinilah ia bertemu dengan Kurt
Goldstein (yang memperkenalkan ide aktualisasi diri kepadanya) dan mulai menulis
karya-karyanya sendiri. Di sini ia juga mulai mengembangkan konsep psikologi
humanistik.
Ia menghabiskan
masa pensiunnya di California, sampai akhirnya ia meninggal karena serangan jantung
pada 8 Juni 1970. Kemudian, Pada tahun 1967, Asosiasi Humanis Amerika
menganugerahkan gelar Humanist of the Year.
Abraham Maslow
dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanistic. Maslow berpendapat, bahwa
manusia memiliki hierarki kebutuhan yang dimulai dari kebutuhan jasmaniah yang
paling asasi sampai dengan kebutuhan tertinggi yakni kebutuhan estetis. Kebutuhan
jasmaniah seperti makan, minum, tidur dan sex menuntut sekali untuk dipuaskan.
Apabila kebutuhan ini terpuaskan, maka muncullah kebutuhan keamanan seperti
kebutuhan kesehatan dan kebutuhan terhindar dari bahaya dan bencana. Berikutnya
adalah kebutuhan untuk memiliki dan cinta kasih, seperti dorongan untuk memiliki
kawan dan berkeluarga, kebutuhan untuk menjadi anggota kelompok, dan
sebagainya. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan ini dapat mendorong seseorang
berbuat lain untuk memperoleh pengakuan dan perhatian, misalnya dia menggunakan
prestasi sebagai pengganti cinta kasih.
Maslow
menggunakan piramida sebagai peraga untuk memvisualisasi gagasannya mengenai
teori hirarki kebutuhan. Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai
dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi
(aktualisasi diri). Adapun hirarki kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kebutuhan fisiologis atau dasar
2. Kebutuhan akan rasa aman
3. Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi
4. Kebutuhan untuk dihargai
5. Kebutuhan untuk aktualisasi diri
Maslow menyebut
empat kebutuhan mulai dari kebutuhan fisiologis sampai kebutuhan harga diri
dengan sebutan homeostatis yang kemudian berhenti dengan sendirinya.
Maslow
memperluas cakupan prinsip homeostatik ini kepada kebutuhan-kebutuhan tadi,
seperti rasa aman, cinta dan harga diri yang biasanya tidak kita kaitkan dengan
prinsip tersebut. Maslow menganggap kebutuhan-kebutuhan defisit tadi sebagai
kebutuhan untuk bertahan. Cinta dan kasih sayang pun sebenarnya memperjelas
kebutuhan ini sudah ada sejak lahir persis sama dengan insting.
2. Carl R. Rogers
Lahir
di Illinois dan sejak kecil menerima penanaman yang ketat mengenai kerja keras
dan nilai agama Protestan. Kelak kedua hal ini mewarnai teori-teorinya. Setelah
mempelajari teologi, ia masuk Teacher’s
College di Columbia Uni, dimana banyak tokoh psikologi mengajar. Di
Columbia Uni ia meraih gelar Ph.D.
Rogers bekerja sebagai
psikoterapis dan dari profesinya inilah ia mengembangkan teori humanistiknya.
Dalam konteks terapi, ia menemukan dan mengembangkan teknik terapi yang dikenal
sebagai Client-centered Therapy.
Dibandingkan teknik terapi yang ada masa itu, teknik ini adalah pembaharuan
karena mengasumsikan posisi yang sejajar antara terapis dan pasien. Hubungan
terapis-klien diwarnai kehangatan, saling percaya, dan klien diberikan
diperlakukan sebagai orang dewasa yang dapat mengambil keputusan sendiri dan
bertanggung jawab atas keputusannya. Tugas terapis adalah membantu klien
mengenali masalahnya, dirisnya sendiri sehingga akhrinya dapat menemukan solusi
bagi dirinya sendiri.
Keseluruhan
pengalaman eksternal dan internal psikologis individu membentuk organisma.
Organisma adalah kenyataan yang dihayati individu, dan disebut sebagai subjective reality, unik dari satu
individu ke individu lainnya. Self
(diri) berkembang dari organisma. Semakin koheren organisma dan self, semakin sehat pribadi tersebut dan
sebaliknya. Sebagaimana ahli humanistic umumnya, Rogers mendasarkan teori
dinamika kepribadian pada konsep aktualisasi diri. Aktualisasi diri adalah daya
yang mendorong pengembangan diri dan potensi individu, sifatnya bawaan dan
sudah menjadi ciri seluruh manusia. Aktualisasi diri yang mendorong manusia
sampai kepada pengembangan yang optimal dan menghasilkan cirri unik manusia
seperti kreativitas, inovasi, dan lain-lain.
Carl R. Rogers
adalah seorang ahli psikologi humanistik yang gagasan-gagasannya berpengaruh
terhadap pikiran dan praktek psikologi di semua bidang, baik klinis,
pendidikan, dan lain-lain. Lebih khusus dalam bidang pendidikan, Rogers
mengutarakan pendapat tentang prinsip-prinsip belajar yang humanistik, yang meliputi
hasrat untuk belajar, belajar yang berarti, belajar tanpa ancaman, belajar atas
inisiatif sendiri, dan belajar untuk perubahan (Rumini,dkk. 1993).
Konsep diri
menurut Rogers adalah bagaimana orang memberi gambaran terhadap dirinya,
tentang siapa dirinya. Konsep diri ini terbagi menjadi 2 yaitu konsep diri real dan konsep diri ideal. Rogers mengenalkan 2 konsep lagi,
yaitu Incongruence dan Congruence. Incongruence adalah ketidakcocokan antara self yang dirasakan dalam
pengalaman actual, dari situ tidak bisa mengembangkan kepribadian yang sehat.
Sedangkan Congruence adanya kecocokan
antara self yang dirasakan dengan
kenyataan. Setiap manusia memiliki kebutuhan dasar akan kehangatan,
penghargaan, penerimaan, pengagungan, dan cinta dari orang lain. Kebutuhan ini
disebut need for positive regard,
yang terbagi lagi menjadi 2 yaitu conditional
positive regard (bersyarat) dan unconditional
positive regard (tak bersyarat). (Schultz 1991).
Rogers memiliki
beberapa hipotesis tentang bagaimana ketidaksesuaian itu dapat berkembang.
Rogers menggambarkan orang yang tidak sehat adalah orang yang mengalami tidak
mendapatkan unconditional positive regard
(penghargaan positif tanpa syarat). Contohnya, Semakin banyak conditional
positive regards dari orang tua, patologi juga semakin berkembang. Karena
membutuhkan cinta tersebut, anak mulai untuk mendapatkan kasih sayang tersebut
dengan mengikuti kondisi yang diberikan orang tuanya atau apa yang diharapkan
oleh orang tuanya. Sehingga dia tidak menjadi dirinya sendiri dan selalu
mengkuti kehendak orang lain.
Perkembangan
kepribadian Self menurut Rogers
Self merupakan
konstruk utama dalam teori kepribadian Rogers, yang dewasa ini dikenal dengan Self concept. Rogers mengartikan sebagai
persepsi tentang karakteristik I atau Me
dan persepsi tentang hubungan I atau Me dengan orang lain atau berbagai aspek
kehidupan, termasuk nilai-nilai yang terkait dengan persepsi tersebut.
Diartikan juga
sebagai keyakinan tentang kenyataan, keunikan, dan kualitas tingkah laku diri
sendiri. Konsep diri merupakan gambaran mental tentang diri seseorang, seperti
: “Saya cantik”, “Saya seorang pekerja yang jujur”, dan “Saya seorang pelajar
yang rajin”.
Hubungan antara Self concept dengan organisme terjadi
dalam 2 kemungkinan, yaitu congruence
atau Incongruence. Kedua kemungkinan
hubungan ini menentukan perkembangan kematangan, penyesuaian, dan kesehatan mental
seseorang. Apabila antara Self concept
dengan organisme terjadi kecocokan maka hubungan itu disebut kongruen, tetapi
apabila terjadi diskrepansi (ketidakcocokan) maka hubungan itu disebut
inkongruen. Contoh yang inkongruen : Anda mungkin meyakini bahwa secara
akademik anda seorang yang cerdas, namun ternyata nilai-nilai yang anda peroleh
sebaliknya (organisme atau pengalaman nyata).
3. Arthur Combs
Perasaan,
persepsi, keyakinan dan maksud merupakan perilaku-perilaku batiniah yang
menyebabkan seseorang berbeda dengan yang lain. Agar dapat memahami orang lain,
seseorang harus melihat dunia orang lain tersebut, bagaimana ia berpikir dan
merasa tentang dirinya. Itulah sebabnya, untuk mengubah perilaku orang lain,
seseorang harus mengubah persepsinya.
Menurut Combs,
perilaku yang keliru atau tidak baik terjadi karena tidak adanya kesediaan
seseorang melakukan apa yang seharusnya dilakukan sebagai akibat dari adanya
sesuatu yang lain, yang lebih menarik atau memuaskan. Misalkan guru mengeluh murid-muridnya
tidak berminat belajar, sebenarnya hal itu karena murid-murid itu tidak
berminat melakukan apa yang dikehendaki oleh guru. Kalau saja guru tersebut lalu
mengadakan aktivitasaktivitas yang lain, barangkali murid-murid akan berubah
sikap dan reaksinya (Rumini, dkk. 1993).
Sesungguhnya
para ahli psikologi humanistik melihat dua bagian belajar, yaitu diperolehnya informasi
baru dan personalisasi informasi baru tersebut. Adalah keliru jika guru
berpendapat bahwa murid akan mudah belajar kalau bahan pelajaran disusun dengan
rapi dan disampaikan dengan baik, sebab arti dan maknanya tidak melekat pada
bahan pelajaran itu; murid sendirilah yang mencerna dan menyerap arti dan makna
bahan pelajaran tersebut ke dalam dirinya. Yang menjadi masalah dalam mengajar
bukanlah bagaimana bahan pelajaran itu disampaikan, tetapi bagaimana membantu
murid memetik arti dan makna yang terkandung di dalam bahan pelajaran tersebut,
yakni apabila murid dapat mengaitkan bahan pelajaran tersebut dengan hidup dan
kehidupan mereka, guru boleh bersenang hati bahwa misinya telah berhasil.
Semakin jauh
hal-hal yang terjadi di luar diri seseorang (dunia) dari pusat lingkaran
lingkaran (persepsi diri), semakin kurang pengaruhnya terhadap seseorang. Sebaliknya,
semakin dekat hal-hal tersebut dengan pusat lingkaran, maka semakin besar
pengaruhnya terhadap seseorang dalam berperilaku. Jadi jelaslah mengapa banyak hal
yang dipelajari oleh murid segera dilupakan, karena sedikit sekali kaitannya
dengan dirinya.
4. Aldous Huxley
Manusia memiliki
banyak potensi yang selama ini banyak terpendam dan disia-siakan. Pendidikan
diharapkan mampu membantu manusia dalam mengembangkan potensi-potensi tersebut,
oleh karena itu kurikulum dalam proses pendidikan harus berorientasi pada
pengembangan potensi, dan ini melibatkan semua pihak, seperti guru, murid
maupun para pemerhati ataupun peneliti dan perencana pendidikan.
Huxley (Roberts,
1975) menekankan adanya pendidikan non-verbal yang juga harus diajarkan kepada
siswa. Pendidikan non verbal bukan berwujud pelajaran senam, sepak bola,
bernyanyi ataupun menari, melainkan hal-hal yang bersifat diluar materi pembelajaran,
dengan tujuan menumbuhkan kesadaran seseorang. Proses pendidikan non verbal
seyogyanya dimulai sejak usia dini sampai tingkat tinggi.
Betapapun, agar
seseorang bisa mengetahui makna hidup dalam kehidupan yang nyata, mereka harus
membekali dirinya dengan suatu kebijakan hidup, kreativitas dan mewujudkannya dengan
langkah-langkah yang bijaksana. Dengan cara ini seseorang akan mendapatkan
kehidupan yang nikmat dan penuh arti. Berbekal pendidikan non verbal, seseorang
akan memiliki banyak strategi untuk lebih tenang dalam menapaki hidup karena
memiliki kemampuan untuk menghargai setiap pengalaman hidupnya dengan lebih
menarik. Akhirnya apabila setiap manusia memiliki kemampuan ini, akan menjadi
sumbangan yang berarti bagi kebudayaan dan moral kemanusiaan.
5. David Mills dan Stanley Scher
Ilmu Pengetahuan
Alam selama bertahun-tahun hanya dibahas dan dipelajari secara kognitif semata,
yakni sebagai akumulasi dari fakta-fakta dan teori-teori. Padahal,
bagaimanapun, praktek dari ilmu pengetahuan selalu melibatkan elemen-elemen
afektif yang meliputi adanya kebutuhan akan pengetahuan, penggunaan intuisi dan
imajinasi dalam usaha-usaha kreatif, pengalaman yang menantang, frustasi, dan
lain-lain. Berdasarkan fenomena tersebut, David Mills dan
Stanley Scher (Roberts, 1975) mengajukan konsep pendidikan terpadu, yakni
proses pendidikan yang mengikutsertakan afeksi atau perasaan murid dalam
belajar.
Metode afektif
yang melibatkan perasaan telah bisaa diterapkan pada murid-murid untuk
pelajaran IPS, Bahasa dan Seni. Sebetulnya ahli yang memulai merintis usaha ini
adalah George Brown, namun kedua ahli ini kemudia mencoba melakukan riset yang
bertujuan menemukan aplikasi yang lebih real dalam usaha tersebut. Penggunaan
pendekatan terpadu ini dilakukan dalam pembelajaran IPA, pendidikan bisnis dan
bahkan otomotif.
Pendekatan
terpadu atau confluent approach merupakan sintesa dari Psikologi Humanistik
khususnya Terapi Gestalt dan pendidikan, yang melibatkan integrasi
elemen-elemen afektif dan kognitif dalam proses belajar. Elemen kognitif
menunjuk pada berpikir, kemampuan verbal, logika, analisa, rasio dan cara-cara intelektual,
sedangkan elemen afektif menunjuk pada perasaan, caracara memahami yang
melibatkan gambaran visual-spasial, fantasi, persepsi keseluruhan, metaphor,
intuisi, dan lain-lain.
Tujuan umum dari
pendekatan ini adalah mengembangkan kesadaran murid-murid terhadap dirinya
sendiri dan dunia sekitarnya, serta meningkatkan kemampuan untuk menggunakan kesadaran
ini dalam menghadapi lingkungan dengan berbagai cara, menerima
petunjuk-petunjuk internal dan menerima tanggung jawab bagi setiap pilihan
mereka. Fungsi guru dalam pendekatan terpadu adalah untuk lebih membebaskan
murid dari ketergantungan kepada guru, dengan tujuan akhir mengembangkan
responsibilitas murid untuk belajar sendiri. Guru hanya membantu mereka dengan memberikan
pilihan-pilihan yang masuk akal bagi pikiran mereka, dan jika perlu guru bisa
menolak memberikan bantuan untuk hal-hal yang bisa ditangani oleh murid
sendiri.
Lebih jauh,
David Mills dan Stanley Scher memaparkan tujuan pendidikan terpadu ini secara
detail sebagai berikut :
a. Membantu murid untuk mengalami proses
ilmu pengetahuan, termasuk penemuan ide-ide baru, baik proses intelektual
maupun afektif.
b. Membantu murid dalam mencapai
kemampuan untuk menggali dan mengerti diri mereka sendiri dan lingkungan sekitarnya dengan
cara yang ilmiah.
c. Meningkatkan
pengertian dan ingatan terhadap konsep-konsep dan ide-ide dalam ilmu
pengetahuan.
d. Menggali bersama-sama murid, implikasi-implikasi
dari aplikasi yang mungkin dari ilmu pengetahuan.
e. Memungkinkan murid untuk menerapkan
baik proses maupun pengetahuan ilmiah untuk diri mereka, serta meningkatkan kesadaran
murid terhadap dunia mereka dan setiap pilihan yang mereka ambil.
Penerapan metode
gabungan antara kognitif dan afektif ini menunjukkan hasil yang lebih efektif
dibanding pengajaran yang hanya menekankan aspek kognitif. Para siswa merasa
lebih cepat menangkap pelajaran dengan menggunakan fantasi, role playing dan game , misalnya mengajarkan teori Newton dengan murid berperan sebagai
astronot.
Daftar Referensi
A.M.
Heru Basuki. (2008). Psikologi Umum.
Jakarta : Universitas Gunadarma
Alwilsol (2004), Psikologi
Kepribadian, UMM Press
Davidoff, Linda L. 1988. Psikologi
Suatu Pengantar. Jakarta, Erlangga.
Roberts, T. B.,
1975. Four Psychologies Applied to Education :Freudian, Behavioral,
Humanistic, Transpersonal. New
York: Schenkman Pub. Co.
No comments:
Post a Comment