Sunday, October 16, 2016

PAUL FEYERABEND: Metode Anarki Ilmu Pengetahuan

Posted by Unknown on Sunday, October 16, 2016





                                                    

Pemikiran Kuhn tentang revoludi ilmu pengetahuan dan pemikiran Lakatos mengenai program riset ilmu pengetahuan kerap kali digunakan sebagai kerangka teoritis untuk menjelaskan dinamika ilmu pengetahuan. Dalam konteks perkembangan teoritis ini filsafat ilmu pengetahuan membedakan antara context of discovery dan context of justification. Yang pertama berbicara tentang proses logis temuan ilmiah. Perkembangan ilmu pengetahuan tidak selamanya ditentukan oleh perkembangan teori. Segi lain dari perkembangan ilmu dapat dilihat dari penggunaan ilmu itu sendiri dalam masyarakat. Dalam hal ini pengembangan ilmu ditentukan oleh bagaimana ia diterima dalam masyarakat dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat. Dalam hal ini perkembangan ilmu ditentukan oleh bagaimana ia diterima dalam masyarakat dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat.

Tak dapat disangkal bahwa dimensi praktis dari ilmu pengetahuan juga menjadi fokus perhatian Thomas Kuhn. Bahkan pemikirannya tentang perkembangan ilmu pengetahuan dari tahap pra-paradigma ke tahap paradigma dan dari tahap paradigma ke tahap krisis paradigma dipakai sebagai model untuk menjelaskan kemungkinan perencanaan pengembangan ilmu pengetahuan untuk kepentingan masyarakat dan karena itu untuk memahami perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam cara pandang Kuhn ini kita boleh mengatakan bahwa ilmu pengetahuan dapat berkembang menurut tiga fase berikut:

Thomas Kuhn

Fase pertama adalah fase percobaan dan penemuan yang dirintis oleh para ilmuwan amatir. Ini merupakan fase pertama perkembangan ilmu pengetahuan, karena ilmu selalu ditandai oleh penemuan-penemuan yang belum dapat dibuktikan kebenarannya. Fase ini disebut sebagai fase amatir, karena fase ini teori yang baru ditemukan belum menjadi konsumsi masyarakat ilmiah dan masyarakat pada umumnya.  Dengan kata lain, sifat amatir temuan ilmiah itu menunjukan bahwa temuan-temuan tersebut belum diterima komunitas ilmiah. Tahap ini dilihat sebagai tahap pra-paradigma.

Fase kedua adalah fase munculnya suatu paradigma, suatu fase yang biasa ditandai oleh perkembangan teori-teori dasar sampai mencapai tingkat kematangannya. Sebuah teori dapat dikatakan matang jika teori tersebut pada tingkat tertentu sudah umum diterima masyarakat ilmiah, atau menjadi konvensional dalam masyarakat ilmiah. Masyarakat ilmiah melalui otoritas ilmiah memainkan peran signifikan pada fase ini.

Dan fase ketiga adalah fase pendanaan penelitian ilmiah terapan. Dalam fase ini penelitian ilmiah akan memfokuskan perhatiannya pada masalah pemanfaatan teori ilmiah bagi kepentingan masyarakat. Pada tahap ini seorang ilmuwan tidak lagi berminat membangun teori-teori dasar keilmuwan, tetapi membangun teori yang memiliki sifat pragmatis yang besar. Asumsi dibalik fase ini adalah bahwa setiap teori ilmiah tidak hanya mengawang-ngawang, dengan hanya menangkap dan menjelaskan realitas tetapi memiliki  manfaat yang besar bagi kehidupan bersama. Pada fase ketiga ini perkembangan ilmu diukur dengan kriteria kegunaannya dalam masyarakat.

Fase pertama dan kedua bertujuan teoritis. Pada fase ini perkembangan ilmu pengetahuan dipahami sebagai kegiatan menemukan dan merumuskan platt-form teoritis: suatu usaha mencari sebuah pendasaran atau penjelasan teoritis tentang alam yangkuta lihat dan alami. Sementara itu pada fase ketiga, orientasi teoritis berubah menjadi terapan. Teori-teori disini tidak lagi dikembangkan hanya untuk memenuhi hasrat keingintahuan manusia, melainkan untuk tujuan-tujuan praktis tertentu. Disini, ilmu pengetahuan tidak lagi bersifat netral, melainkan berhubungan dengan sebuah kepentingan dan nilai tertentu, sebuah tujuan yang hendak dicapai.

Fase-fase perkembangan tersebut tentu tidak melepaskan diri dari kerangka paradigmastis masyarakat, karena itu memiliki referensi yang kuat pada pemikiran masyarakat ilmiah tentang perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Para ahli sosiologi ilmu pengetahuan seperti Robert K. Merthon menegaskan bahwa masyarakat memiliki peran penting dalam perkembangan ilmu. Ia menentukan perkembangan ilmu mulai dari penerimaan kegiatan amatir sampai pada penerapan sebuat teori untuk kepentingan-kepentingan yang lebih praktis.

Seluruh Kerangka penjelasan Kuhn sebegaimana dijelaskan di atas berguna untuk melihat jembatan antara kepentingan teoritis dan kepentingan praktis dari ilmu pengetahuan. Tetapi pandangan Kuhn tersebut dinilai masih bersifat statis. Dengan menempatkan persetujuan konvensional di antara para ilmuwan sebagai inti paradigma, Kuhn sebenarnya memandang dengan sebelah mata kreativitas individual, yang dalam kenyataannya menjadi pionir ilmu pengetahuan. Maka persoalan yang belum dijawab Kuhn adalah bagaimana kita bisa mengerti tentang dinamika ilmu pengetahuan dalam kerangka sebuah paradigma. Atau lebih tegas, dimana letak kemungkinan perkembangan ilmu pengetahuan? Apa artinya kedewasaan ilmu pengetahuan, jika komunitas ilmuwan menjadi ukurannya? Apakah dengan itu tidak diperlukan lagi terobosab baru dalam ilmu pengetahuan, justru ketika sebuah teori diterima sebagai paradigma? Bagaimana kita menjelaskan dinamika perkembangan ilmu pengetahuan dan manakah syarat-syarat bagi perkembangannya, termasuk dalam hal ini penelitian teoritis dan penelitian terapan?

Pertanyaan-pertanyaan ini tidak membawa kita kepada persoalan logic of scientific discovery, logika penemuan ilmiah dan logic of scientific justification, logika pembuktian ilmiah, melainkan bagaimana ilmuwan sebagai individu dapat mengambil sikap terhadap ilmu pengetahuan sebagai konvensi masyarakat. Dengan kata lain, apa yang harus dibangun oleh seorang ilmuwan dalam menegakan kebebasan ilmiahnya. Bagaimana ia dapat mempertanyakan konvensionalitas pandangan ilmiah yang sudah ada dalam masyarakat dan tidak terjerat pada kerangka metodologi yang baku yang biasa dipakai sebagai kerangka tetap dalam penelitian ilmiah.

Feyerabend: Seorang Falsifikasionis yang Realis
Apa yang ingin dikembangkan Feyerabend tidak lepas dari apa yang sebenarnya dikembangkan Karl Popper, gurunya di London School of Economics. Feyerabend sendiri mengaku bahwa Popper telah merintis jalan yang tepat ketika ia mengkritik induktivisme dalam ilmu pengetahuan dan melihat falsifikasi sebagai pilihan yang riil. Ia bahkan ingin mengatasi kritisisme Popper dan menyebut dirinya sebagai seorang falsifikasionis realis. Feyerabend menilai dirinya di satu sisi sebagai seorang filsuf yang menghargai sikap kritis terhadap setiap teori, namun di sisi lain ia juga percaya bahwa setiap teori yang baik harus berbicara tentang realitas yang independen (a mind-independent reality). Dalam sebuah teori yang baik harus memiliki korespondensi dengan realitas. Dengan posisi dasar ini Feyerabend menegaskan bahwa hanya realisme yang membawa kita ke cita-cita intelektual. Cita-cita intelektual yang di maksud adalah sikap kritis dan kejujuran ilmiah.

Feyerabend juga berpandang bahwa pengalaman dan pernyataan-pernyataan tentang realitas lebih kompleks dari yang dipikirkan positivisme. Jika positivisme cenderung melihat obsevasi dan eksperimen sebagai tujuan, maka realisme menegaskan bahwa observasi dan eksperimen selalu membutuhkan interpretasi dan interpretasi yang berbeda-beda senantiasa disumbangkan oleh teori yang berbeda-beda pula. Maka bisa dikatakan bahwa awal pemikiran filsafat Feyerabend adalah realisme. Ilmu pengetahuan dalam pandangan ini merupakan usaha yang tidak pernah habis untuk menjembatani subjek pengenalan yang memiliki kerangka berpikir dengan realitas yang berdiri sendiri. Dunia dan benda-benda di luar subjek pengenal, sang ilmuwan, merupakan tujuan dari ilmu pengetahuan.

 Against Method
Tahun 1975 Paul Feyerabend menerbitkan bukunya yang berjudul Againt Method, sebuah buku yang diberi penafsiran oleh para pembaca sebagai sebuah pemberontakan terhadap teori-teori ilmu pengetahuan sebelumnya dan terhadap metode-metode ilmu yang sudah menjadi konvensional di dalam masyarakat. Selain itu, buku tersebut dapat dilihat sebagai sebuah pemberontakan terhadap apa yang ia yakini sebelumnya yaitu realisme ilmiah.



Tujuan dari buku Against Method adalah mendorong para ilmuwan untuk mempersoalkan kembali semua metode ilmiah yang mereka gunakan secara dogmatis, tanpa sikap kritis sama sekali. Setiap ilmuwan harus menjadi ilmuwan yang sejati, dalam arti harus mengembangkan sebuah metode yang memberi tempat bagi kebebasan berpikir, tidak mengekang diri dalam batas-batas metode yang konvensional, melainkan harus membiasakan diri untuk mempersoalkan semuanya itu. prinsip dasar metode yang ingin ia bangun adalah anything goes, lakukan menurut kata hatimu. Dengan prinsip ini Feyerabend tentu tidak bermaksud bahwa kita harus selalu kembali kepada situasi dimana tidak ada pengaruh ilmu pengetahuan lain: suatu situasi kacau dimana tidak ada lagi metode dan teori-teori ilmiah. Sebaliknya, prinsip ini merupakan senjata untuk memerangi metode dan aturan ilmu pengetahuan yang kaku. Tujuannya adalah agar kita tidak melakukan dan mempertahankan kesalahan. Feyerabend menegaskan bahwa ilmuwan bisa saja melakukan kesalahan apa saja sebagaimana hal nya setiap manusia dapat melakukannya. Ilmu pengetahuan bukanlah sistem yang murni tanpa kekeliruan. Bahkan tidak perlu dibangun sedemikian rupa seolah-olah kekeliruan tersebut tidak mungkin terjadi.

Feyerabend menyadari bahwa ia tidak berbicara tentang ilmu pengetahuan sebagai sistem tertutup, melainkan sebagai sistem yang berkembang dan tumbuh dalam masyarakat demokratis. Dengan kata lain, orang dapat membangun ilmu pengetahuan sebagai sebuah sistem dengan aturan-aturan metodologis yang ketat sebagaimana dicita-citakan kaum positivis. Dalam pandangannya tersebut kita bisa mengatakan bahwa pengalaman, data dan hasil-hasil eksperimen merupakan ukuran keberhasilan sebuah teori, bahwa kecocokan antara data dan teori membuat teori dipertahankan dan bahwa ketidakcocokan antara data dan teori dapat menghancurkan teori itu sendiri. Tetapi apakah aturan metodologis yang ketat menentukan ilmu pengetahuan? Jawaban Feyerabend adalah “Tidak”. Ia tidak yakin bahwa aturan metodologis yang ketat dapat membuat ilmu pengetahuan menjadi kreatif.

Feyerabend memberikan dua alasan untuk jawabannya yang negatif itu. Pertama, dunia yang kita ketahui selalu mengandung misteri, sehingga selalu tidak dapat dikenal dengan baik. Artinya, ilmu pengetahuan harus terus-menerus melakukan penelitian, tanpa harus membatasi diri hanya pada metode-metode yang terbatas serta tidak membuka diri pada penjelasan-penjelasan lain.

Kedua, dunia hanya dapat diketahui melalui kreativitas individual. Alasan kedua berkaitan dengan perspektif positivis tentang metode ilmu pengetahuan. Menurut Feyerabend, positivisme telah menawarkan sebuah proposal metodologis yang menyesatkan. Menurut Feyerabend, positivisme telah menawarkan sebuah proposal metodologis yang menyesatkan. Ia menafsirkan positivisme sebagai metode ilmu pengetahuan harus membebaskan diri dari unsur-unsur subjektivitas manusia. Ini konsep objektifitas yaitu objektivitas ditafsirkan sebagai bebas dari aspirasi dan penafsiran personal; dan metode ilmiah harus sejauh dapat membebaskan ilmu pengetahuan dari kreativitas personal seorang ilmuwan. Namun dengan sinis Feyerabend menegaskan bahwa metode ilmu pengetahuan tidak lebih dari prosedur yang harus diikuti oleh seorang ilmuwan; metode tersebut telah memenjarakan ilmuwan dan tidak mengizinkannya untuk bertindak di luar batas-batas metode konvensional yang ada.

Feyerabend menjelaskan bahwa metode anarki (anarchistic methodology) itu tidak bertujuan menimbulkan khaos ilmiah, melainkan membuka kemungkinan yang lebih luas bagi setiap individu untuk menunjukan kreativitasnya karena ia percaya bahwa manusia dalam kreativitasnya akan selalu mengusahakan perkembangan ilmu pengetahuan dan perkembangan dirinya sendiri. Ia memiliki dua alasan untuk menawarkan metode anarki ini. Pertama, tidak ada metodologi ilmiah yang tidak rentan terhadap kritik. Banyak temuan ilmiah terjadi karena beberapa pemikir memilih untuk tidak terikat dengan aturan metodologi yang sedang berlaku. Kerentanan metodologis tersebut merupakan sesuatu yang mutlak perlu bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Kedua, menurut pengamatannya, ilmuwan cenderung tidak membangun sebuah hipotesis yang harus dibuktikan secara induktif, melainkan mengusulkan sebuah hipotesis yang kontra-induktif. Disebut kontra-induktif karena hipotesis tersebut dapat menjadi alternatif dan bahkan menggoncang teori-teori lama. Feyerabend menegaskan bahwa ilmuwan yang baik selalu terbuka bagi metodologi lain dalam ilmu pengetahuan (pluralistic methodology). Selain itu, disebut kontra-induktif karena hipotesis bertujuan mempertanyakan data-data yang sudah lama diterima masyarakat ilmiah. Menurut Feyerabend, setiap hipotesis dapat bertentangan dengan data: bukan karena data-data itu tidak tepat tetapi bahwa data itu sendiri terkontaminasi oleh hipotesis lain.

Alasan kedua, Feyerabend menjelaskan bahwa pengamatan atas data selalu terjadi dalam rangka sebuah teori tertentu. Dengan kedua alasan ini maka bisa dikatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan mensyaratkan prinsip otonomi ilmuwan, suatu prinsip yang menegaskan bahwa ilmu hanya berkembang jika setiap ilmuwan memiliki kebebasan yang sepenuh-penuhnya untuk meneliti menurut kata hatinya sendiri.




Kebebasan Ilmuwan
Pemikiran Feyerabend mengenai metode anarki ilmu pengetahuan memiliki implikasi yang luas bagi pemikiran kita tentang kebebasan ilmu pengetahuan itu sendiri dan tentang kebebasan masyarakat modern saat ini. Ia sendiri menegaskan bahwa dengan gagasan ini ia ingin menempatkan ilmu pengetahuan dalam kerangka gerakan kemanusiaan yang sama dengan apa yang diperjuangkan John Stuart Mill, pada abad ke-19 dalam bidang politik.

Analogi pemikiran Feyerabend dan Mill ini memiliki dua implikasi penting. Implikasi pertama berkaitan dengan gagasan unified science sebagaimana dicita-citakan oleh kaum positivis. Menurut pandangan positivisme setiap ilmu diharapkan membangun sebuah metodologi yang sama untuk mencapai objektivitas. Dalam pandangan Feyerabend ilmu pengetahuan tidak pernah menjalan fungsi pembebaskan ketika dilembagakan dalam masyarakat. Bagi Feyerabend, suatu masyarakat yang bebas hanya terjadi jika setiap warganya dapat mengungkapkan pikirannya sendiri dan mengambil keputusan yang paling baik bagi dirinya. Hal ini dapat terwujud jika setiap orang yang belajar ilmu pengetahuan memiliki kesempatan yang sama belajar dongeng atau mitos-mitos yang beredar dalam masyarakat.

Dalam pandangan Feyerabend, masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang netral terhadap ideologi (agama dan ilmu pengetahuan bisa bersifat ideologis). Masyarakat tersebut harus bisa menjamin agar setiap orang memiliki kebebasan dan agar setiap orang memiliki kebebasan dan agar setiap orang tidak ditekan oleh semua bentuk ideologis termasuk dalam hal ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, metodologi anarki memiliki implikasi sosial politik. Feyerabend ingin agar ilmu sendiri harus bebas dari negara dan masyarakat mayoritas.


Dari Anarki ke Syarat-Syarat Metodologis Ilmu

Kritik Terhadap Feyerabend
Pemikiran Feyerabend memiliki kontradiksi pada dirinya sendiri. Atas nama kebebasan kita barangkali dapat menghargai kritiknya atas metode ilmu pengetahuan yang berkembang sampai sekarang. Tetapi kebebasan yang ia maksud hanyalah kebebasan negatif yaitu kebebasan berarti setiap individu harus membebaskan diri dari kungkungan apapun agar ia bisa melakukan apa yang ia inginkan. Kebebasan jenis ini disebut kebebasan negatif: kebebasan dari.

Kebebasan macam ini harus diimbangi dengan kebebasan positif: kebebasan untuk, artinya seseorang bebas untuk melakukan sesuatu. Kebebasan ilmu pengetahuan selalu berkembang dalam situasi objektif, dimana kebebasan orang lain tidak terhindarkan lagi. Kebebasan ilmu pengetahuan selalu berkembang dalam situasi objektif, dimana kebebasan orang lian tidak terhindarkan lagi. Kebebasan orang lain tersebut merupakan batas objektif bagi kebebasannya.

Selain itu, Pemikiran Feyerabend mengandung sebuah ironi. Disisi lain, dalam teori ilmu pengetahuannya, menolak gagasan penelitian yang netral terhadap teori, tetapi di sisi lain, dalam teori politiknya ia justru menyetujui gagasan negara yang netral terhadap ideologis.

Syarat-Syarat Pengembangan Ilmu
Kritik yang menjurus kepada penolakan terhadap metodologi ilmu pengetahuan mendorong pada filsuf untuk berpikir lebih konstruktif tentang metode ilmu pengetahuan. Tampaknya kita tidak bisa membayangkan suatu ilmu tanpa metode, beberapa filsuf seperti Stephen Toulmin, Kurt Huebner, Stephen Koerner dan Yehuda Elkana mencoba melihat kembali prasyarat-prasyarat penting yang harus diindahkan oleh ilmuwan. Dalam banyak hal keempat filsuf tersebut secara konstruktif memberikan pendasarkan agar metodologi ilmu pengetahuan tidak harus dipahami secara kaku, tetapi memberikan ruang bagi kebebasan ilmu pengetahuan dalam mengembangkan model-model ilmu. Karena itu pula apa yang mereka identifikasi sebagai prasyaratan-prasyaratan metodologi ilmiah pun tidak harus ditafsir secara kaku. Demikian pandangan mereka, prasyaratan-prasyaratan tersebut mengalami perkembangan. Persyaratan-persyaratan tersebut adalah sebagai berikut:
1.        Prasyarat ontologis (Koerner). Artinya bahwa ilmu-ilmu berkembang karena mereka berhadapan dengan bidang-bidang realitas yang beda-beda. Perbedaan antara fisika, astronomi, sejarah dan sastra semata-mata disebabkan karena berhadapan dengan realitas yang berbeda. Suatu usaha untuk membangun Mathesis universalis seperti yang dibayangkan Descartes atau suatu unified sciences sebagaimana dipikirkan oleh sekolah Wina merupakan usaha yang tidak masuk akal.

2.        Prasyarat sumber pengetahuan (Elkana). Dalam epistemologis umum diketahui bahwa sumber pengetahuan kita adalah pengalaman dan akal budi. Sejarah ilmu pengetahuan menunjukan perbedaan tekanan pada apa yang dimaksud dengan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Pertama-tama yang dimaksud dengan pengalaman adalah pengamatan. galileo menemukan teleskop, konsep pengamatan itu sendiri mengalami perkembangan yang menakjubkan. Dimensi instrumen pengamatan menjadi sangat penting dalam ilmu. Pertama-tama dimensi ini menjadi nyata dalam matematika dan logika. Pertanyaan penting berkaitan dengan pemakaian rasio adalah masalah bukti. Pada abad pertengahan gagasan rasio mempengaruhi konsep intuisi, wahyu, otoritas dan tradisi. Semuanya dianggap sebagai sumber-sumber pengetahuan dalam banyak bidang entah agama maupun ilmu pengetahuan.

3.        Prasyarat hierarki sumber-sumber pengetahuan (Yehuda Elkana). Sumber-sumber pengetahuan memiliki hierarki yang berbeda-beda dalam tiap-tiap ilmu. Bagi ilmuwan Eropa kontinental, penggunaan rasio mendapat tempat pertama, sedangkan bagi ilmuwan dalam tradisi Anglosakson, pengalaman mendapat prioritas. Ketiga sumber pengetahuan tersebut mendapat urutan prioritas masing-masing. Karena itu tidak dapat dikatakan bahwa perkembangan ilmu berjalan secara sama begitu saja dimana-mana.

4.        Prasyarat pembuktian (Kurt Huebner). Yang dimaksud dengan prasyarat ini adalah apa yang dapat kita tetapkan sebagai bukti, pendasarkan, penerimaan suatu teori, kritik, dan penolakan terhadap suatu teori.

5.        Prasayarat normatif (Heubner). Prasyarat terakhir ini menunjukan bahwa semua ilmu memiliki bentuk-bentuk normatif seperti teori, kemudahan, ketelitian dalam hubungan antara persoalan dan solusi, dan asumsi-asumsi hubungan antara persoalan dan solusi, dan asumsi-asumsi dasar yang kebal terhadap kritik.

Prasyarat-prasyarat ini menunjukan bahwa metodologi ilmu tidak berkembang secara linear tetapi mengalami perubahan berdasarkan tuntutan-tuntutan baru. Selain itu, pengetahuan ilmiah tidak tunduk pada kesepakatan bersama (konvensi), melainkan pada pembuktian. Prasyarat-prasyarat tersebut menuntut agar setiap usaha pembuktian ilmiah tunduk pada kewajiban untuk mencapai kebenaran. Kebenaran merupakan orientasi dasar dari semua prasyarat-prasyarat metodologis yang dibangun ilmu secara bersama. Jika kritik Feyerabend berusaha memporak-porandakan semua aturan metodologis demi kebebasan ilmiah, maka semua prasyarat metodologis sebagaimana berkembang dalam sejarah, dalam pemikiran filsuf-filsuf kontemporer, tidak pertama-tama membangun konvensi ilmu, melainkan bertujuan agar ilmu pengetahuan terarah pada pengetahuan yang benar. Kebenaran adalah ide regulatif yang mengarahkan semua perangkat metodologis.



Previous
« Prev Post

No comments:

Post a Comment