Wednesday, October 12, 2016

FEATURE DETECTION

Posted by Unknown on Wednesday, October 12, 2016


Teori Feature detection adalah sel-sel yang kita miliki yang berada di dalam korteks penglihatan kita yang bergejolak hanya pada respon-respon stimulus tertentu. Feature detection ini bergejolak ketika mereka menerima input ketika kita melihat suatu bentuk tertentu, warna, sudut, atau bentuk visual lainnya (Pastorino & Portillo, 2010)Feature detection dirancang untuk
mengakomodasi pola variabilitas dengan terfokus pada unsur-unsur umum di kasus yang berbeda dari sebuah objek. Teori ini mengusulkan bahwa stimulus di dalam fitur dan komponen yang kemudian digunakannya fitur ini untuk menyimpulkan suatu identitas. Hal yang paling dikenal dalam teori feature detection adalah pandemonium (Lindsey & Norman, 1972; Selfridge, 1959, dalam Friendenberg & Silverman,  2012)Ini diambil dari nama mental kecil “demons” yang mewakili pemrosesan suatu unit. “Demons” ini akan “berteriak” ketika merekognisi prosesnya. Pandemonium merupakan salah satu sistem atau metode dalam rekognisi pola (pattern recognition) yang menggunakan analisis tampang (feature analysis). Sistem ini merupakan salah satu cara untuk menggambarkan bagaimana terjadinya proses rekognisi (pengenalan kembali) atas pola-pola yang diindera oleh manusia. Sistem ini mengimajinasikan adanya serangkaian hantu (demon) yang berperan menganalisis pola-pola yang diindera. Masing-masing demon memiliki tugas yg berbeda-beda.

Chase dan Simon (1973a, 1973b) mempelajari problem ini dengan menganalis pola rumit yang dihasil oleh buah-buah catur diatas sebuah papan catur. Selain itu, Para peneliti tersebut menganalisis perbedaan antara maestro-maestro catur dengan para pemain amatir. Dalam studi tersebut, pola tersusun dari kumpulan sejumlah objek (jadi bukan fitur-fitur yang membentuk objek). Secara intuitif, kita mengetahui bahwa perbedaan kognitif antara seorang maestro catur dengan seorang pemain amatir terletak pada seberapa banyak langkah yang dapat direncanakan seorang dibandingkan seorang amatir. Rekognisi pola merupakan proses pengenalan kembali terhadap pola yang pernah dikenal. Oleh karena itu, jika kita melihat wajah teman kita atau mendengar lagu, kita dapat mengenal masing-masing persepsi tersebut sebagai sesuatu yang sebelumnya telah dialami.

Terdapat beberapa pendekatan untuk menjelaskan bagaimana proses rekognisi pola visual salah satunya adalah teori Feature detection yang menyatakan bahwa kita mempunyai sel-sel di dalam korteks penglihatan kita yang bergejolak hanya pada respon-respon stimulus tertentu. Feature detection ini bergejolak ketika mereka menerima input ketika kita melihat suatu bentuk tertentu, warna, sudut, atau bentuk visual lainnya (Pastorino & Portillo, 2010)Feature detection dirancang untuk mengakomodasi pola variabilitas dengan terfokus pada unsur-unsur umum di kasus yang berbeda dari sebuah objek. Teori ini mengusulkan bahwa stimulus di dalam fitur dan komponen yang kemudia digunakannya fitur ini untuk menyimpulkan suatu identitas. Hal yang paling dikenal dalam teori feature detection adalah pandemonium (Lindsey & Norman, 1972; Selfridge, 1959, dalam Friendenberg & Silverman,  2012)Ini diambil dari nama mental kecil “demons” yang mewakili pemrosesan suatu unit. “Demons” ini akan “berteriak” ketika merekognisi prosesnya. Pandemonium merupakan salah satu sistem atau metode dalam rekognisi pola (pattern recognition) yang menggunakan analisis tampang (feature analysis). Sistem ini merupakan salah satu cara untuk menggambarkan bagaimana terjadinya proses rekognisi (pengenalan kembali) atas pola-pola yang diindera oleh manusia. Sistem ini mengimajinasikan adanya serangkaian hantu (demon) yang berperan menganalisis pola-pola yang diindera. Masing-masing demon memiliki tugas yg berbeda-beda.

Menurut Oliver Selfridge (1959) pandemonium yaitu sebuah paradigma untuk belajar untuk simposium pada mekanisasi proses pemikiran. Dimana pemerintah pusat menghipotesis bahwa surat-surat diidentifikasi melalui fitur-fitur komponen. Pendekatan ini di kembangkan selama bertahun-tahun, tapi kunci untuk mendukungnya kurang lengkap. Penelitian terbaru telah dimulai untuk memberikan bukti penting yang mendukung fitur-based. Surat persepsi ini menggambarkan sifat dari fitur itu sendiri dan waktu perjalanan proses yang terlibat. Para peneliti yang pertama kali mempelajari tentang human pattern recognition dalam cara yang sistematis yang disebut Psikologi Gestalt dikarenakan keyakinan mereka bahwa keseluruhan persepsi dari suatu objek (atau gestalt) adalah lebih besar daripada jumlah dari bagian-bagian individual. Seorang psikolog kontemporer, Anne Treisman, sangat meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana orang-orang mengenali pola-pola, bahkan hal duniawi, seperti papan reklame yang kita lihat setiap hari di pinggir jalan. Jackson (1987) memperpanjang model Selfridge, modelnya termasuk demon yang dapat menyebabkan tindakan di dunia eksternal (di luar kotak pandemonium) dan dapat bertindak atas demon lainnya.

Menurut Majorsy (dalam Delosh & Merritt, 2000) pandemonium dibagi beberapa jenis dan tugas-tugasnya yaitu:
a.      Image Demon (ID)
Jenis demon yang pertama, memiliki tugas yang paling sederhana, yaitu mencatat gambaran atau citra (image) sinyal eksternal.
b.     Feature Demon (FD)
Jenis demon yang kedua, bertugas menganalisa. Masing-masing demon melihat ciri-ciri khusus pada pola, yaitu adanya garis-garis tertentu (misalnya: sudut, garis vertikal, garis horizontal, kurva).
c.      Cognitive Demon (CD)
Jenis demon  ketiga, yang bertugas mengamati respon-respon dari feature demon (FD), bertanggung jawab mengenali pola. Setiap cognitive demon digunakan untuk mengenali satu pola (misalnya : satu CD mengenali A; satu CD mengenali B; dll). Bila suatu CD menemukan tampang (feature) yang cocok, maka demon tersebut berteriak. Bila demon lain menemukan kecocokan tampang (feature) yang lain, maka teriakan-teriakan menjadi lebih keras.
d.     Decision Demon (DD)
Jenis demon yang keempat, yaitu bertugas mendengarkan hasil pandemonium dari cognitive demon (CD), lalu decision demon (DD) memilih teriakan CD yang berteriak paling keras sebagai pola yang paling besar kemungkinan terjadinya.

Idenya adalah bahwa setiap jenis pola disimpan sebagai satu set fitur dan label yang terkait. Misal, stimulus A disajikan dan dibandingkan dengan informasi ini disimpan kemudian diidentifikasi sesuai dengan fitur terbaik. Secara khusus jumlah fitur umum antara stimulus dan setiap item yang disimpan ditentukan makan stimulus diberi label yang sesuai dengan serangkaian fitur yang menghasilkan paling besar fitur tumpang tindih. Misalnya, pola “E” mungkin disimpan sebagai serangkaian fitur (garis vertical, tiga garis horizontal) dan akan dikaitkan dengan suara “eee”, label untuk pola ini dalam bahasa inggris. Jika stimulus dengan fitur yang sama disajikan, itu kemungkinan besar akan diberi label “eee” karena fitur tersebut cocok. Beberapa bukti eksperimental mendukung pandangan ini. Sebuah prediksi logis dari teori feature detection bahwa pola-pola dengan fitur serupa (misalnya, E dan F) pastinya akan memiliki kekeliruan untuk satu sama lain lebih sering dari pada pola fitur yang berbeda (misalnya, E dan W). artinya, tingkat kebingungan persepsi harus mencerminkan jumlah fitur yang stimulinya memiliki kesamaan. Hal ini telah diamati di sejumlah percobaan (Delosh & Merritt, 2000). Demikian pula, ketika memutuskan apakah pasangan huruf tersebut sama atau berbeda, diperlukan waktu lebih lama jika terjadinya banyak fitur daripada jika mereka berbagi beberapa fitur.  

Previous
« Prev Post

No comments:

Post a Comment