Teori Feature
detection adalah sel-sel yang kita miliki yang berada di dalam korteks
penglihatan kita yang bergejolak hanya pada respon-respon stimulus tertentu. Feature
detection ini bergejolak ketika mereka menerima input ketika kita
melihat suatu bentuk tertentu, warna, sudut, atau bentuk visual lainnya (Pastorino & Portillo,
2010). Feature
detection dirancang untuk
mengakomodasi pola variabilitas dengan terfokus pada unsur-unsur umum di kasus yang berbeda dari sebuah objek. Teori ini mengusulkan bahwa stimulus di dalam fitur dan komponen yang kemudian digunakannya fitur ini untuk menyimpulkan suatu identitas. Hal yang paling dikenal dalam teori feature detection adalah pandemonium (Lindsey & Norman, 1972; Selfridge, 1959, dalam Friendenberg & Silverman, 2012). Ini diambil dari nama mental kecil “demons” yang mewakili pemrosesan suatu unit. “Demons” ini akan “berteriak” ketika merekognisi prosesnya. Pandemonium merupakan salah satu sistem atau metode dalam rekognisi pola (pattern recognition) yang menggunakan analisis tampang (feature analysis). Sistem ini merupakan salah satu cara untuk menggambarkan bagaimana terjadinya proses rekognisi (pengenalan kembali) atas pola-pola yang diindera oleh manusia. Sistem ini mengimajinasikan adanya serangkaian hantu (demon) yang berperan menganalisis pola-pola yang diindera. Masing-masing demon memiliki tugas yg berbeda-beda.
mengakomodasi pola variabilitas dengan terfokus pada unsur-unsur umum di kasus yang berbeda dari sebuah objek. Teori ini mengusulkan bahwa stimulus di dalam fitur dan komponen yang kemudian digunakannya fitur ini untuk menyimpulkan suatu identitas. Hal yang paling dikenal dalam teori feature detection adalah pandemonium (Lindsey & Norman, 1972; Selfridge, 1959, dalam Friendenberg & Silverman, 2012). Ini diambil dari nama mental kecil “demons” yang mewakili pemrosesan suatu unit. “Demons” ini akan “berteriak” ketika merekognisi prosesnya. Pandemonium merupakan salah satu sistem atau metode dalam rekognisi pola (pattern recognition) yang menggunakan analisis tampang (feature analysis). Sistem ini merupakan salah satu cara untuk menggambarkan bagaimana terjadinya proses rekognisi (pengenalan kembali) atas pola-pola yang diindera oleh manusia. Sistem ini mengimajinasikan adanya serangkaian hantu (demon) yang berperan menganalisis pola-pola yang diindera. Masing-masing demon memiliki tugas yg berbeda-beda.
Chase
dan Simon (1973a, 1973b) mempelajari problem ini dengan menganalis pola rumit
yang dihasil oleh buah-buah catur diatas sebuah papan catur. Selain itu, Para
peneliti tersebut menganalisis perbedaan antara maestro-maestro catur dengan
para pemain amatir. Dalam studi tersebut, pola tersusun dari kumpulan sejumlah
objek (jadi bukan fitur-fitur yang membentuk objek). Secara intuitif, kita
mengetahui bahwa perbedaan kognitif antara seorang maestro catur dengan seorang
pemain amatir terletak pada seberapa banyak langkah yang dapat direncanakan
seorang dibandingkan seorang amatir. Rekognisi pola merupakan proses pengenalan
kembali terhadap pola yang pernah dikenal. Oleh karena itu, jika kita melihat
wajah teman kita atau mendengar lagu, kita dapat mengenal masing-masing
persepsi tersebut sebagai sesuatu yang sebelumnya telah dialami.
Terdapat
beberapa pendekatan untuk menjelaskan bagaimana proses rekognisi pola visual
salah satunya adalah teori Feature detection yang menyatakan
bahwa kita mempunyai sel-sel di dalam korteks penglihatan kita yang bergejolak
hanya pada respon-respon stimulus tertentu. Feature detection ini
bergejolak ketika mereka menerima input ketika kita melihat suatu bentuk
tertentu, warna, sudut, atau bentuk visual lainnya (Pastorino & Portillo,
2010). Feature
detection dirancang untuk mengakomodasi pola variabilitas dengan
terfokus pada unsur-unsur umum di kasus yang berbeda dari sebuah objek. Teori
ini mengusulkan bahwa stimulus di dalam fitur dan komponen yang kemudia
digunakannya fitur ini untuk menyimpulkan suatu identitas. Hal
yang paling dikenal dalam
teori feature detection adalah pandemonium (Lindsey & Norman, 1972; Selfridge, 1959, dalam
Friendenberg & Silverman, 2012). Ini
diambil dari nama mental kecil “demons” yang mewakili pemrosesan suatu
unit. “Demons” ini akan “berteriak” ketika merekognisi prosesnya. Pandemonium merupakan
salah satu sistem atau metode dalam rekognisi pola (pattern recognition)
yang menggunakan analisis tampang (feature analysis). Sistem ini
merupakan salah satu cara untuk menggambarkan bagaimana terjadinya proses
rekognisi (pengenalan kembali) atas pola-pola yang diindera oleh manusia.
Sistem ini mengimajinasikan adanya serangkaian hantu (demon) yang berperan menganalisis
pola-pola yang diindera. Masing-masing demon memiliki tugas yg berbeda-beda.
Menurut
Oliver Selfridge (1959) pandemonium yaitu sebuah paradigma
untuk belajar untuk simposium pada mekanisasi proses pemikiran. Dimana
pemerintah pusat menghipotesis bahwa surat-surat diidentifikasi melalui
fitur-fitur komponen. Pendekatan ini di kembangkan selama bertahun-tahun, tapi
kunci untuk mendukungnya kurang lengkap. Penelitian terbaru telah dimulai untuk
memberikan bukti penting yang mendukung fitur-based. Surat persepsi
ini menggambarkan sifat dari fitur itu sendiri dan waktu perjalanan proses yang
terlibat. Para peneliti yang pertama kali mempelajari tentang human pattern
recognition dalam cara yang sistematis yang disebut Psikologi Gestalt
dikarenakan keyakinan mereka bahwa keseluruhan persepsi dari suatu objek (atau
gestalt) adalah lebih besar daripada jumlah dari bagian-bagian individual.
Seorang psikolog kontemporer, Anne Treisman, sangat meningkatkan pemahaman kita
tentang bagaimana orang-orang mengenali pola-pola, bahkan hal duniawi, seperti
papan reklame yang kita lihat setiap hari di pinggir jalan. Jackson (1987)
memperpanjang model Selfridge, modelnya termasuk demon yang dapat menyebabkan
tindakan di dunia eksternal (di luar kotak pandemonium) dan dapat bertindak
atas demon lainnya.
Menurut
Majorsy (dalam Delosh & Merritt, 2000) pandemonium dibagi
beberapa jenis dan tugas-tugasnya yaitu:
a.
Image Demon (ID)
Jenis demon yang
pertama, memiliki tugas yang paling sederhana, yaitu mencatat gambaran atau
citra (image) sinyal eksternal.
b. Feature Demon (FD)
Jenis demon yang
kedua, bertugas menganalisa. Masing-masing demon melihat
ciri-ciri khusus pada pola, yaitu adanya garis-garis tertentu (misalnya: sudut,
garis vertikal, garis horizontal, kurva).
c.
Cognitive Demon (CD)
Jenis demon ketiga,
yang bertugas mengamati respon-respon dari feature demon (FD),
bertanggung jawab mengenali pola. Setiap cognitive demon digunakan
untuk mengenali satu pola (misalnya : satu CD mengenali A; satu CD mengenali B;
dll). Bila suatu CD menemukan tampang (feature) yang cocok, maka demon
tersebut berteriak. Bila demon lain menemukan kecocokan tampang (feature)
yang lain, maka teriakan-teriakan menjadi lebih keras.
d. Decision Demon (DD)
Jenis demon yang
keempat, yaitu bertugas mendengarkan hasil pandemonium dari cognitive
demon (CD), lalu decision demon (DD) memilih teriakan
CD yang berteriak paling keras sebagai pola yang paling besar kemungkinan
terjadinya.
Idenya
adalah bahwa setiap jenis pola disimpan sebagai satu set fitur dan label yang
terkait. Misal, stimulus A disajikan dan dibandingkan dengan informasi ini
disimpan kemudian diidentifikasi sesuai dengan fitur terbaik. Secara khusus
jumlah fitur umum antara stimulus dan setiap item yang disimpan ditentukan
makan stimulus diberi label yang sesuai dengan serangkaian fitur yang
menghasilkan paling besar fitur tumpang tindih. Misalnya, pola “E” mungkin
disimpan sebagai serangkaian fitur (garis vertical, tiga garis horizontal) dan
akan dikaitkan dengan suara “eee”, label untuk pola ini dalam bahasa inggris.
Jika stimulus dengan fitur yang sama disajikan, itu kemungkinan besar akan
diberi label “eee” karena fitur tersebut cocok. Beberapa bukti eksperimental
mendukung pandangan ini. Sebuah prediksi logis dari teori feature
detection bahwa pola-pola dengan fitur serupa (misalnya, E dan F)
pastinya akan memiliki kekeliruan untuk satu sama lain lebih sering dari pada
pola fitur yang berbeda (misalnya, E dan W). artinya, tingkat kebingungan
persepsi harus mencerminkan jumlah fitur yang stimulinya memiliki kesamaan. Hal
ini telah diamati di sejumlah percobaan (Delosh & Merritt, 2000). Demikian
pula, ketika memutuskan apakah pasangan huruf tersebut sama atau berbeda,
diperlukan waktu lebih lama jika terjadinya banyak fitur daripada jika mereka
berbagi beberapa fitur.
No comments:
Post a Comment