Pemikiran Kuhn tentang revoludi ilmu pengetahuan dan
pemikiran Lakatos mengenai program riset ilmu pengetahuan kerap kali digunakan
sebagai kerangka teoritis untuk menjelaskan dinamika ilmu pengetahuan. Dalam
konteks perkembangan teoritis ini filsafat ilmu pengetahuan membedakan antara context of discovery dan context of justification. Yang pertama
berbicara tentang proses logis temuan ilmiah. Perkembangan ilmu pengetahuan
tidak selamanya ditentukan oleh perkembangan teori. Segi lain dari perkembangan
ilmu dapat dilihat dari penggunaan ilmu itu sendiri dalam masyarakat. Dalam hal
ini pengembangan ilmu ditentukan oleh bagaimana ia diterima dalam masyarakat
dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat. Dalam hal ini
perkembangan ilmu ditentukan oleh bagaimana ia diterima dalam masyarakat dan
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat.
Tak dapat disangkal bahwa dimensi praktis dari ilmu
pengetahuan juga menjadi fokus perhatian Thomas Kuhn. Bahkan pemikirannya
tentang perkembangan ilmu pengetahuan dari tahap pra-paradigma ke tahap
paradigma dan dari tahap paradigma ke tahap krisis paradigma dipakai sebagai
model untuk menjelaskan kemungkinan perencanaan pengembangan ilmu pengetahuan
untuk kepentingan masyarakat dan karena itu untuk memahami perkembangan ilmu
pengetahuan. Dalam cara pandang Kuhn ini kita boleh mengatakan bahwa ilmu
pengetahuan dapat berkembang menurut tiga fase berikut:
Thomas Kuhn
Fase pertama adalah fase percobaan dan penemuan yang dirintis
oleh para ilmuwan amatir. Ini merupakan fase pertama perkembangan ilmu
pengetahuan, karena ilmu selalu ditandai oleh penemuan-penemuan yang belum dapat
dibuktikan kebenarannya. Fase ini disebut sebagai fase amatir, karena fase ini
teori yang baru ditemukan belum menjadi konsumsi masyarakat ilmiah dan
masyarakat pada umumnya. Dengan kata
lain, sifat amatir temuan ilmiah itu menunjukan bahwa temuan-temuan tersebut
belum diterima komunitas ilmiah. Tahap ini dilihat sebagai tahap pra-paradigma.
Fase kedua adalah fase munculnya suatu paradigma, suatu fase
yang biasa ditandai oleh perkembangan teori-teori dasar sampai mencapai tingkat
kematangannya. Sebuah teori dapat dikatakan matang jika teori tersebut pada
tingkat tertentu sudah umum diterima masyarakat ilmiah, atau menjadi
konvensional dalam masyarakat ilmiah. Masyarakat ilmiah melalui otoritas ilmiah
memainkan peran signifikan pada fase ini.
Dan fase ketiga adalah fase pendanaan penelitian ilmiah
terapan. Dalam fase ini penelitian ilmiah akan memfokuskan perhatiannya pada
masalah pemanfaatan teori ilmiah bagi kepentingan masyarakat. Pada tahap ini
seorang ilmuwan tidak lagi berminat membangun teori-teori dasar keilmuwan,
tetapi membangun teori yang memiliki sifat pragmatis yang besar. Asumsi dibalik
fase ini adalah bahwa setiap teori ilmiah tidak hanya mengawang-ngawang, dengan
hanya menangkap dan menjelaskan realitas tetapi memiliki manfaat yang besar bagi kehidupan bersama. Pada
fase ketiga ini perkembangan ilmu diukur dengan kriteria kegunaannya dalam
masyarakat.
Fase pertama dan kedua bertujuan teoritis. Pada fase ini
perkembangan ilmu pengetahuan dipahami sebagai kegiatan menemukan dan
merumuskan platt-form teoritis: suatu
usaha mencari sebuah pendasaran atau penjelasan teoritis tentang alam yangkuta
lihat dan alami. Sementara itu pada fase ketiga, orientasi teoritis berubah
menjadi terapan. Teori-teori disini tidak lagi dikembangkan hanya untuk memenuhi
hasrat keingintahuan manusia, melainkan untuk tujuan-tujuan praktis tertentu. Disini,
ilmu pengetahuan tidak lagi bersifat netral, melainkan berhubungan dengan
sebuah kepentingan dan nilai tertentu, sebuah tujuan yang hendak dicapai.
Fase-fase perkembangan tersebut tentu tidak melepaskan diri
dari kerangka paradigmastis masyarakat, karena itu memiliki referensi yang kuat
pada pemikiran masyarakat ilmiah tentang perkembangan ilmu pengetahuan itu
sendiri. Para ahli sosiologi ilmu pengetahuan seperti Robert K. Merthon
menegaskan bahwa masyarakat memiliki peran penting dalam perkembangan ilmu. Ia
menentukan perkembangan ilmu mulai dari penerimaan kegiatan amatir sampai pada
penerapan sebuat teori untuk kepentingan-kepentingan yang lebih praktis.
Seluruh Kerangka penjelasan Kuhn sebegaimana dijelaskan di
atas berguna untuk melihat jembatan antara kepentingan teoritis dan kepentingan
praktis dari ilmu pengetahuan. Tetapi pandangan Kuhn tersebut dinilai masih
bersifat statis. Dengan menempatkan persetujuan konvensional di antara para
ilmuwan sebagai inti paradigma, Kuhn sebenarnya memandang dengan sebelah mata
kreativitas individual, yang dalam kenyataannya menjadi pionir ilmu
pengetahuan. Maka persoalan yang belum dijawab Kuhn adalah bagaimana kita bisa
mengerti tentang dinamika ilmu pengetahuan dalam kerangka sebuah paradigma.
Atau lebih tegas, dimana letak kemungkinan perkembangan ilmu pengetahuan? Apa
artinya kedewasaan ilmu pengetahuan, jika komunitas ilmuwan menjadi ukurannya?
Apakah dengan itu tidak diperlukan lagi terobosab baru dalam ilmu pengetahuan,
justru ketika sebuah teori diterima sebagai paradigma? Bagaimana kita
menjelaskan dinamika perkembangan ilmu pengetahuan dan manakah syarat-syarat
bagi perkembangannya, termasuk dalam hal ini penelitian teoritis dan penelitian
terapan?
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak membawa kita kepada persoalan
logic of scientific discovery, logika
penemuan ilmiah dan logic of scientific
justification, logika pembuktian ilmiah, melainkan bagaimana ilmuwan
sebagai individu dapat mengambil sikap terhadap ilmu pengetahuan sebagai
konvensi masyarakat. Dengan kata lain, apa yang harus dibangun oleh seorang
ilmuwan dalam menegakan kebebasan ilmiahnya. Bagaimana ia dapat mempertanyakan
konvensionalitas pandangan ilmiah yang sudah ada dalam masyarakat dan tidak
terjerat pada kerangka metodologi yang baku yang biasa dipakai sebagai kerangka
tetap dalam penelitian ilmiah.
Feyerabend: Seorang Falsifikasionis yang
Realis
Apa yang ingin dikembangkan Feyerabend tidak lepas dari apa
yang sebenarnya dikembangkan Karl Popper, gurunya di London School of Economics. Feyerabend sendiri mengaku bahwa
Popper telah merintis jalan yang tepat ketika ia mengkritik induktivisme dalam
ilmu pengetahuan dan melihat falsifikasi sebagai pilihan yang riil. Ia bahkan
ingin mengatasi kritisisme Popper dan menyebut dirinya sebagai seorang
falsifikasionis realis. Feyerabend menilai dirinya di satu sisi sebagai seorang
filsuf yang menghargai sikap kritis terhadap setiap teori, namun di sisi lain
ia juga percaya bahwa setiap teori yang baik harus berbicara tentang realitas
yang independen (a mind-independent
reality). Dalam sebuah teori yang baik harus memiliki korespondensi dengan
realitas. Dengan posisi dasar ini Feyerabend menegaskan bahwa hanya realisme
yang membawa kita ke cita-cita intelektual. Cita-cita intelektual yang di
maksud adalah sikap kritis dan kejujuran ilmiah.
Feyerabend juga berpandang bahwa pengalaman dan
pernyataan-pernyataan tentang realitas lebih kompleks dari yang dipikirkan
positivisme. Jika positivisme cenderung melihat obsevasi dan eksperimen sebagai
tujuan, maka realisme menegaskan bahwa observasi dan eksperimen selalu
membutuhkan interpretasi dan interpretasi yang berbeda-beda senantiasa
disumbangkan oleh teori yang berbeda-beda pula. Maka bisa dikatakan bahwa awal
pemikiran filsafat Feyerabend adalah realisme. Ilmu pengetahuan dalam pandangan
ini merupakan usaha yang tidak pernah habis untuk menjembatani subjek
pengenalan yang memiliki kerangka berpikir dengan realitas yang berdiri sendiri.
Dunia dan benda-benda di luar subjek pengenal, sang ilmuwan, merupakan tujuan
dari ilmu pengetahuan.
Against
Method
Tahun 1975 Paul Feyerabend menerbitkan bukunya yang berjudul Againt Method, sebuah buku yang diberi
penafsiran oleh para pembaca sebagai sebuah pemberontakan terhadap teori-teori
ilmu pengetahuan sebelumnya dan terhadap metode-metode ilmu yang sudah menjadi
konvensional di dalam masyarakat. Selain itu, buku tersebut dapat dilihat
sebagai sebuah pemberontakan terhadap apa yang ia yakini sebelumnya yaitu
realisme ilmiah.
Tujuan dari buku Against
Method adalah mendorong para ilmuwan untuk mempersoalkan kembali semua
metode ilmiah yang mereka gunakan secara dogmatis, tanpa sikap kritis sama
sekali. Setiap ilmuwan harus menjadi ilmuwan yang sejati, dalam arti harus
mengembangkan sebuah metode yang memberi tempat bagi kebebasan berpikir, tidak
mengekang diri dalam batas-batas metode yang konvensional, melainkan harus
membiasakan diri untuk mempersoalkan semuanya itu. prinsip dasar metode yang
ingin ia bangun adalah anything goes, lakukan
menurut kata hatimu. Dengan prinsip ini Feyerabend tentu tidak bermaksud bahwa
kita harus selalu kembali kepada situasi dimana tidak ada pengaruh ilmu
pengetahuan lain: suatu situasi kacau dimana tidak ada lagi metode dan
teori-teori ilmiah. Sebaliknya, prinsip ini merupakan senjata untuk memerangi
metode dan aturan ilmu pengetahuan yang kaku. Tujuannya adalah agar kita tidak
melakukan dan mempertahankan kesalahan. Feyerabend menegaskan bahwa ilmuwan
bisa saja melakukan kesalahan apa saja sebagaimana hal nya setiap manusia dapat
melakukannya. Ilmu pengetahuan bukanlah sistem yang murni tanpa kekeliruan.
Bahkan tidak perlu dibangun sedemikian rupa seolah-olah kekeliruan tersebut
tidak mungkin terjadi.
Feyerabend menyadari bahwa ia tidak berbicara tentang ilmu
pengetahuan sebagai sistem tertutup, melainkan sebagai sistem yang berkembang
dan tumbuh dalam masyarakat demokratis.
Dengan kata lain, orang dapat membangun ilmu pengetahuan sebagai sebuah sistem
dengan aturan-aturan metodologis yang ketat sebagaimana dicita-citakan kaum
positivis. Dalam pandangannya tersebut kita bisa mengatakan bahwa pengalaman,
data dan hasil-hasil eksperimen merupakan ukuran keberhasilan sebuah teori,
bahwa kecocokan antara data dan teori membuat teori dipertahankan dan bahwa
ketidakcocokan antara data dan teori dapat menghancurkan teori itu sendiri. Tetapi
apakah aturan metodologis yang ketat menentukan ilmu pengetahuan? Jawaban
Feyerabend adalah “Tidak”. Ia tidak yakin bahwa aturan metodologis yang ketat
dapat membuat ilmu pengetahuan menjadi kreatif.
Feyerabend memberikan dua alasan untuk jawabannya yang
negatif itu. Pertama, dunia yang kita ketahui selalu mengandung misteri,
sehingga selalu tidak dapat dikenal dengan baik. Artinya, ilmu pengetahuan
harus terus-menerus melakukan penelitian, tanpa harus membatasi diri hanya pada
metode-metode yang terbatas serta tidak membuka diri pada penjelasan-penjelasan
lain.
Kedua, dunia hanya dapat diketahui melalui kreativitas
individual. Alasan kedua berkaitan dengan perspektif positivis tentang metode
ilmu pengetahuan. Menurut Feyerabend, positivisme telah menawarkan sebuah
proposal metodologis yang menyesatkan. Menurut Feyerabend, positivisme telah
menawarkan sebuah proposal metodologis yang menyesatkan. Ia menafsirkan
positivisme sebagai metode ilmu pengetahuan harus membebaskan diri dari
unsur-unsur subjektivitas manusia. Ini konsep objektifitas yaitu objektivitas
ditafsirkan sebagai bebas dari aspirasi dan penafsiran personal; dan metode
ilmiah harus sejauh dapat membebaskan ilmu pengetahuan dari kreativitas
personal seorang ilmuwan. Namun dengan sinis Feyerabend menegaskan bahwa metode
ilmu pengetahuan tidak lebih dari prosedur yang harus diikuti oleh seorang
ilmuwan; metode tersebut telah memenjarakan ilmuwan dan tidak mengizinkannya
untuk bertindak di luar batas-batas metode konvensional yang ada.
Feyerabend menjelaskan bahwa metode anarki (anarchistic methodology) itu tidak
bertujuan menimbulkan khaos ilmiah, melainkan membuka kemungkinan yang lebih
luas bagi setiap individu untuk menunjukan kreativitasnya karena ia percaya
bahwa manusia dalam kreativitasnya akan selalu mengusahakan perkembangan ilmu
pengetahuan dan perkembangan dirinya sendiri. Ia memiliki dua alasan untuk
menawarkan metode anarki ini. Pertama, tidak ada metodologi ilmiah yang tidak
rentan terhadap kritik. Banyak temuan ilmiah terjadi karena beberapa pemikir
memilih untuk tidak terikat dengan aturan metodologi yang sedang berlaku.
Kerentanan metodologis tersebut merupakan sesuatu yang mutlak perlu bagi
pengembangan ilmu pengetahuan.
Kedua, menurut pengamatannya, ilmuwan cenderung tidak
membangun sebuah hipotesis yang harus dibuktikan secara induktif, melainkan
mengusulkan sebuah hipotesis yang kontra-induktif. Disebut kontra-induktif
karena hipotesis tersebut dapat menjadi alternatif dan bahkan menggoncang
teori-teori lama. Feyerabend menegaskan bahwa ilmuwan yang baik selalu terbuka
bagi metodologi lain dalam ilmu pengetahuan (pluralistic
methodology). Selain itu, disebut kontra-induktif karena hipotesis
bertujuan mempertanyakan data-data yang sudah lama diterima masyarakat ilmiah.
Menurut Feyerabend, setiap hipotesis dapat bertentangan dengan data: bukan
karena data-data itu tidak tepat tetapi bahwa data itu sendiri terkontaminasi
oleh hipotesis lain.
Alasan kedua, Feyerabend menjelaskan bahwa pengamatan atas
data selalu terjadi dalam rangka sebuah teori tertentu. Dengan kedua alasan ini
maka bisa dikatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan mensyaratkan prinsip
otonomi ilmuwan, suatu prinsip yang menegaskan bahwa ilmu hanya berkembang jika
setiap ilmuwan memiliki kebebasan yang sepenuh-penuhnya untuk meneliti menurut
kata hatinya sendiri.
Kebebasan Ilmuwan
Pemikiran Feyerabend mengenai metode anarki ilmu pengetahuan
memiliki implikasi yang luas bagi pemikiran kita tentang kebebasan ilmu
pengetahuan itu sendiri dan tentang kebebasan masyarakat modern saat ini. Ia
sendiri menegaskan bahwa dengan gagasan ini ia ingin menempatkan ilmu
pengetahuan dalam kerangka gerakan kemanusiaan yang sama dengan apa yang
diperjuangkan John Stuart Mill, pada abad ke-19 dalam bidang politik.
Analogi pemikiran Feyerabend dan Mill ini memiliki dua
implikasi penting. Implikasi pertama berkaitan dengan gagasan unified science sebagaimana dicita-citakan
oleh kaum positivis. Menurut pandangan positivisme setiap ilmu diharapkan
membangun sebuah metodologi yang sama untuk mencapai objektivitas. Dalam
pandangan Feyerabend ilmu pengetahuan tidak pernah menjalan fungsi pembebaskan
ketika dilembagakan dalam masyarakat. Bagi Feyerabend, suatu masyarakat yang
bebas hanya terjadi jika setiap warganya dapat mengungkapkan pikirannya sendiri
dan mengambil keputusan yang paling baik bagi dirinya. Hal ini dapat terwujud
jika setiap orang yang belajar ilmu pengetahuan memiliki kesempatan yang sama
belajar dongeng atau mitos-mitos yang beredar dalam masyarakat.
Dalam pandangan Feyerabend, masyarakat yang ideal adalah
masyarakat yang netral terhadap ideologi (agama dan ilmu pengetahuan bisa
bersifat ideologis). Masyarakat tersebut harus bisa menjamin agar setiap orang
memiliki kebebasan dan agar setiap orang memiliki kebebasan dan agar setiap
orang tidak ditekan oleh semua bentuk ideologis termasuk dalam hal ilmu
pengetahuan. Dengan kata lain, metodologi anarki memiliki implikasi sosial
politik. Feyerabend ingin agar ilmu sendiri harus bebas dari negara dan
masyarakat mayoritas.
Dari Anarki ke Syarat-Syarat Metodologis
Ilmu
Kritik Terhadap Feyerabend
Pemikiran Feyerabend memiliki kontradiksi pada dirinya sendiri.
Atas nama kebebasan kita barangkali dapat menghargai kritiknya atas metode ilmu
pengetahuan yang berkembang sampai sekarang. Tetapi kebebasan yang ia maksud
hanyalah kebebasan negatif yaitu kebebasan berarti setiap individu harus
membebaskan diri dari kungkungan apapun agar ia bisa melakukan apa yang ia
inginkan. Kebebasan jenis ini disebut kebebasan negatif: kebebasan dari.
Kebebasan macam ini harus diimbangi dengan kebebasan positif:
kebebasan untuk, artinya seseorang bebas untuk melakukan sesuatu. Kebebasan
ilmu pengetahuan selalu berkembang dalam situasi objektif, dimana kebebasan
orang lain tidak terhindarkan lagi. Kebebasan ilmu pengetahuan selalu
berkembang dalam situasi objektif, dimana kebebasan orang lian tidak
terhindarkan lagi. Kebebasan orang lain tersebut merupakan batas objektif bagi
kebebasannya.
Selain itu, Pemikiran Feyerabend mengandung sebuah ironi.
Disisi lain, dalam teori ilmu pengetahuannya, menolak gagasan penelitian yang
netral terhadap teori, tetapi di sisi lain, dalam teori politiknya ia justru
menyetujui gagasan negara yang netral terhadap ideologis.
Syarat-Syarat Pengembangan Ilmu
Kritik yang menjurus kepada penolakan terhadap metodologi
ilmu pengetahuan mendorong pada filsuf untuk berpikir lebih konstruktif tentang
metode ilmu pengetahuan. Tampaknya kita tidak bisa membayangkan suatu ilmu
tanpa metode, beberapa filsuf seperti Stephen Toulmin, Kurt Huebner, Stephen
Koerner dan Yehuda Elkana mencoba melihat kembali prasyarat-prasyarat penting
yang harus diindahkan oleh ilmuwan. Dalam banyak hal keempat filsuf tersebut
secara konstruktif memberikan pendasarkan agar metodologi ilmu pengetahuan
tidak harus dipahami secara kaku, tetapi memberikan ruang bagi kebebasan ilmu
pengetahuan dalam mengembangkan model-model ilmu. Karena itu pula apa yang
mereka identifikasi sebagai prasyaratan-prasyaratan metodologi ilmiah pun tidak
harus ditafsir secara kaku. Demikian pandangan mereka, prasyaratan-prasyaratan
tersebut mengalami perkembangan. Persyaratan-persyaratan tersebut adalah sebagai
berikut:
1.
Prasyarat ontologis (Koerner). Artinya bahwa
ilmu-ilmu berkembang karena mereka berhadapan dengan bidang-bidang realitas
yang beda-beda. Perbedaan antara fisika, astronomi, sejarah dan sastra
semata-mata disebabkan karena berhadapan dengan realitas yang berbeda. Suatu
usaha untuk membangun Mathesis
universalis seperti yang dibayangkan Descartes atau suatu unified sciences sebagaimana dipikirkan
oleh sekolah Wina merupakan usaha yang tidak masuk akal.
2.
Prasyarat sumber pengetahuan (Elkana). Dalam
epistemologis umum diketahui bahwa sumber pengetahuan kita adalah pengalaman
dan akal budi. Sejarah ilmu pengetahuan menunjukan perbedaan tekanan pada apa
yang dimaksud dengan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Pertama-tama yang
dimaksud dengan pengalaman adalah pengamatan. galileo menemukan teleskop,
konsep pengamatan itu sendiri mengalami perkembangan yang menakjubkan. Dimensi
instrumen pengamatan menjadi sangat penting dalam ilmu. Pertama-tama dimensi
ini menjadi nyata dalam matematika dan logika. Pertanyaan penting berkaitan
dengan pemakaian rasio adalah masalah bukti. Pada abad pertengahan gagasan
rasio mempengaruhi konsep intuisi, wahyu, otoritas dan tradisi. Semuanya
dianggap sebagai sumber-sumber pengetahuan dalam banyak bidang entah agama
maupun ilmu pengetahuan.
3.
Prasyarat hierarki sumber-sumber pengetahuan
(Yehuda Elkana). Sumber-sumber pengetahuan memiliki hierarki yang berbeda-beda
dalam tiap-tiap ilmu. Bagi ilmuwan Eropa kontinental, penggunaan rasio mendapat
tempat pertama, sedangkan bagi ilmuwan dalam tradisi Anglosakson, pengalaman
mendapat prioritas. Ketiga sumber pengetahuan tersebut mendapat urutan
prioritas masing-masing. Karena itu tidak dapat dikatakan bahwa perkembangan
ilmu berjalan secara sama begitu saja dimana-mana.
4.
Prasyarat pembuktian (Kurt Huebner). Yang
dimaksud dengan prasyarat ini adalah apa yang dapat kita tetapkan sebagai
bukti, pendasarkan, penerimaan suatu teori, kritik, dan penolakan terhadap
suatu teori.
5.
Prasayarat normatif (Heubner). Prasyarat
terakhir ini menunjukan bahwa semua ilmu memiliki bentuk-bentuk normatif
seperti teori, kemudahan, ketelitian dalam hubungan antara persoalan dan
solusi, dan asumsi-asumsi hubungan antara persoalan dan solusi, dan
asumsi-asumsi dasar yang kebal terhadap kritik.
Prasyarat-prasyarat ini menunjukan bahwa metodologi ilmu
tidak berkembang secara linear tetapi mengalami perubahan berdasarkan
tuntutan-tuntutan baru. Selain itu, pengetahuan ilmiah tidak tunduk pada
kesepakatan bersama (konvensi), melainkan pada pembuktian. Prasyarat-prasyarat
tersebut menuntut agar setiap usaha pembuktian ilmiah tunduk pada kewajiban
untuk mencapai kebenaran. Kebenaran merupakan orientasi dasar dari semua
prasyarat-prasyarat metodologis yang dibangun ilmu secara bersama. Jika kritik
Feyerabend berusaha memporak-porandakan semua aturan metodologis demi kebebasan
ilmiah, maka semua prasyarat metodologis sebagaimana berkembang dalam sejarah,
dalam pemikiran filsuf-filsuf kontemporer, tidak pertama-tama membangun
konvensi ilmu, melainkan bertujuan agar ilmu pengetahuan terarah pada
pengetahuan yang benar. Kebenaran adalah ide regulatif yang mengarahkan semua
perangkat metodologis.