Seperti
yang kita ketahui, sekarang banyak sekali laki-laki dan perempuan
berlomba-lomba dalam mencari pekerjaan, mulai dari yang lulusan SMA, sarjana,
ataupun ibu rumah tangga. Mereka berusaha keras untuk mendapatkan pekerjaan
yang baik dengan penghasilan yang baik pula. Tetapi dengan adanya beban yang
lebih besar pada perempuan dalam mengurusi rumah tangga, maka perempuan lebih
sedikit berada dalam dunia kerja. Seperti yang dikatakan oleh Badan Pusat
Statistik Indonesia (2013) bahwa pada tahun 2012 rata-rata lapangan pekerjaan
dan penduduk porsi dari penduduk usia kerja yang bekerja-diperkirakan 65% dari
November 2012 sampai Mei 2013 yang lebih
tinggi dari rata-rata global
yaitu 60,3%. Rasio lapangan pekerjaan dan penduduk untuk laki-laki dan
perempuan menunjukan variasi yang signifikan, dengan rasio laki-laki dan
perempuan diperkirakan mencapai 80,3% dan 50,0% masing-masing pada bulan Februari
2013. Perbedaan gender dalam partisipasi angkatan kerja terus bertahan dengan
tingkat partisipasi angkatan kerja untuk laki-laki berkisar antara 84% dan 85%,
sedangkan tingkat angkatan kerja pada perempuan berkisar antara 52% dan 53%
selama tahun 2012 dan 2013. Dalam hal pekerjaan, pada tahun 2013 sekitar 62%
laki-laki bekerja, sementara perempuan sekitar 38% yang bekerja. Dilihat dari
persentase dalam hal pekerjaan, ini artinya bahwa perempuan mempunyai beban
yang lebih berat ketika perempuan menjabat sebagai kepala rumah tangga.
Sebagai contoh fenomena pada Pegawai Negeri Sipil (PNS) perempuan, Satuan Polisi Pamong Praja
dan Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Kuningan saat menggelar razia pegawai
negeri sipil yang keluar pada saat jam kantor. Umumnya, PNS yang terkena razia
adalah perempuan (Harthana, 2009). Menurut Agustin (dalam
Kurniasari & Izzati, 2013) media lain yaitu surat kabar Jawa Pos edisi 28
Januari 2013 memberitakan bahwa pada tahun 2012 Pemkot Surabaya telah
memberikan sanksi berat dan ringan kepada 56 PNS, bahkan 19 PNS diantaranya
dipecat karena melakukan pelanggaran berat. Data Badan Kepegawaian dan Diklat
Surabaya menyebutkan bahwa tahun lalu terdapat 31 PNS yang mendapat sanksi
berat, dengan rincian 19 PNS dipecat dan sisanya mendapat sanksi tidak naik
pangkat selama tiga tahun dan penurunan jabatan, selain itu ada 25 PNS yang
mendapat sanksi ringan berupa penurunan gaji berkala ataupun penundaan kenaikan
pangkat. Menurut Astuti (2011) dari data
perbandingan jumlah PNS laki-laki dan PNS perempuan menunjukan bahwa untuk
pegawai yang menduduki
pimpinan masih didominasi oleh PNS laki-laki (63%)
sementara PNS perempuan yang memegang pimpinan hanya
sekitar 37%. Hal ini juga yang menjadi kemungkinan membuat perempuan lebih banyak yang
mengeluarkan diri ataupun dikeluarkan karena kurangnya mematuhi peraturan yang
ada di dalam organisasi. Seperti dalam catatan data ketenagakerjaan di Indonesia
juga menunjukan bahwa keterlibatan perempuan dalam sektor publik belumlah memuaskan. Undang-Undang
No. 12 Tahun 2003 telah mengamanatkan aksi afirmasi mengenai quota 30% perempuan dalam lembaga
legislatif, akan tetapi sampai hasil pemilu 2009
jumlah perempuan di parlemen masih sangat jauh karena hanya kisaran 9% sementara anggota parlemen
laki-laki mencapai 91%.
Meskipun
begitu, hal tersebut tetap menjadi jembatan untuk perusahaan mendapatkan
karyawan-karyawan yang memiliki potensi yang luar biasa. Karyawan memiliki peranan
penting dalam tercapainya tujuan suatu perusahaan. Keterampilan dan kinerja
yang dimiliki menjadi dasar tolak ukur bagi keberhasilan suatu perusahaan. Bukan
hanya keterampilan dan kinerja saja yang menjadi tolak ukur bagi keberhasilan perusahaan,
tetapi produktivitas karyawan juga menjadi kunci keberhasilan perusahaan. Apabila
karyawan memiliki produktivitas yang tinggi, perusahaan akan mendapatkan
keuntungan dan pencapaian yang baik serta menghasilkan kinerja yang baik pula.
Pada saat kinerja itu sudah baik, perusahaan harus tetap mempertahankannya
sehingga tidak menurun. Karyawan dengan kinerja yang baik akan memiliki rasa
kepuasan tersendiri. Maka, diharapkan karyawan tidak hanya memiliki rasa puas.
Karyawan diharapkan memiliki rasa keterlibatan, komitmen, memberikan yang
terbaik dari mereka untuk perusahaan, ikut berkontribusi terhadap pekerjaan dan
perusahaan, serta memiliki rasa bangga terhadap pekerjaan dan perusahaan. Kondisi-kondisi
ini yang disebut dengan Keterikatan Karyawan.
Keterikatan karyawan dikenal sebagai suatu konsep yang
bisa memberikan dampak positif bagi perusahaan dan karyawan, serta memberikan
informasi mengenai tingkat keterikatan karyawan terhadap perusahaannya. Dengan
adanya keterikatan ini, karyawan akan memiliki komitmen dan rasa antusias
terhadap pekerjaannya sehingga angka persentase karyawan yang mengeluarkan diri
dari pekerjaannya berkurang. Karyawan yang terikat memiliki karakteristik
tertentu yang semuanya berguna bagi kesuksesan organisasi (Bakker, 2009). Karyawan
yang terikat dengan perusahaannya, akan dapat memiliki rasa untuk terlibat,
berkomitmen, serta adanya rasa memiliki terhadap pekerjaan dan perusahaan
tempat ia bekerja (Suryandari, 2012). Seperti
yang telah dijelaskan juga oleh Kular S et.al (2008) melalui
penelitiannya yang menyatakan bahwa kepercayaan perusahaan pada level keterikatan karyawan yang tinggi akan
menghasilkan hasil yang positif pada keberhasilan perusahaan.
Namun,
dengan begitu masih terdapat juga dampak positif dan negatif dari adanya keterikatan karyawan ini. Dampak
positifnya yaitu seperti yang dijelaskan melalui hasil riset yang dilakukan oleh Watson Wyatt (dalam Haerani &
Puruhanan, 2012)
pada 750 perusahaan menunjukkan tentang besarnya total return to share holders dalam
periode 5 tahun: Perusahaan dengan nilai employee
engagement yang tinggi memiliki total
return to share holders sebesar 64%, sedangkan pada perusahaan dengan employee engagement yang rendah, adalah
sebesar 21%. Sedangkan dampak negatifnya
yaitu masih banyak karyawan yang belum engaged
dengan pekerjaan dan perusahaannya, sehingga karyawan tersebut mempengaruhi
karyawan lain yang sudah terikat dengan pekerjaan dan perusahaan. Seperti yang
dijelaskan oleh Gallup Consulting (dalam Nusatria, 2012) menemukan bahwa tingkat engagement di
perusahaan-perusahaan kelas dunia lebih baik dibandingkan dengan perusahaan
lain. Pada perusahaan kelas dunia (World-Class) karyawan yang tergolong
ke dalam golongan engaged mencapai tingkat 67% sedangkan perusahaan lain
hanya mencapai 33%. Tingkat engagement pada perusahaan kelas dunia juga
lebih kecil daripada perusahaan lain. Karyawan pada perusahaan kelas dunia yang
termasuk ke dalam not engaged dan actively disengaged berturut-turut
hanya sebesar 26% dan 7%, dibandingkan dengan perusahaan lain yang mencapai 49%
dan 18%.
Artinya bahwa masih banyak perusahan-perusahaan di
dunia yang belum memberi perhatian lebih pada keterikatan karyawan meskipun
keterikatan karyawan sangat memberikan manfaat bagi perusahaan. Dalam kasus ini,
perusahaan-perusahaan kelas dunia yang belum menerapkan konsep keterikatan
karyawan harus berusaha dengan keras untuk dapat membuat karyawan merasa nyaman
di dalam pekerjaannya dan lingkungan kerjanya, sehingga karyawan yang secara
aktif ingin melepaskan diri dari pekerjaannya dapat berkurang serta produktivitas
dan kinerja menjadi meningkat.
Terkait
dengan keterikatan karyawan, terdapat
penelitian sebelumnya mengenai hasil riset keterikatan karyawan, yaitu Gallup Organization (dalam Coffman dan Gonzalez-Molina, 2002) menggunakan instrumen yang disebut dengan the Q12 instrument menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang
berada pada paruh atas pada tingkat employee
engagement, rata-rata memiliki tingkat loyalitas pelanggan 56% lebih
tinggi, turn-over 44% lebih rendah,
produktivitas 50% lebih tinggi, dan keuntungan 33% lebih besar
dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang berada pada paruh bawah.
Artinya, bahwa perusahaan-perusahaan pada level atas lebih memiliki tingkat
keterikatan karyawan yang sangat baik dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan
pada level bawah. Ini menunjukkan bahwa keterikatan karyawan penting bagi
keberhasilan perusahaan untuk mencapai tujuannya.
No comments:
Post a Comment