Monday, November 28, 2011

MUSA AL-SADR (1928 - 1978)

Posted by Edo Bramantyo on Monday, November 28, 2011



1. Riwayat hidup singkat
Musa al-Sadr lahir di Qum, Iran, pada tahun 1928, putra seorang pemimpin Muslim yang penting dalam agama Syiah, Ayatullah Sadr al-Din Sadr. Dia masuk sekolah dasar dan menengah di Qum dan perguruan tinggi di Teheran. Dia tidak berniat untuk mempelajari agama, namun dengan desakan ayahnya, ia membuang ambisi sekuler dan mengejar pendidikan dalam hukum Islam (fikih). Awalnya, ia belajar di sebuah madrasah Qum (sekolah agama), dan sementara masih di Qum ia membantu membuat majalah, Makatib-i Islami (Sekolah Islam), yang masih diterbitkan di Iran. Satu tahun setelah kematian ayahnya pada tahun 1953, ia pindah ke Najaf, Irak, di mana dia belajar di bawah Ayatullah Muhsin al-Hakim.

Musa al-Sadr (1928-1978.), Yang dikenal sebagai Imam Musa, adalah Muslim Syiah religius dan pemimpin yang berperan politik dalam meningkatkan banyak kaum Syiah biasa di Lebanon Selatan sekaligus mengurangi kekuatan elit Syiah. Al-Sadr pada tahun 1978 menghilang secara misterius dan dianggap tewas.

2. Karya-karyanya
Selama masa hidupnya Musa al-sadr  membuat beberapa karya, diantaranya
a)        فلسفة تاريخ الإسلام (History 's Philosophy of Islam).
Berisi tentang sejarah dari filsafat Islam.

b)       Magazine Makatib-i Islami
Adalah buku pelajaran sekolah yang berisi tentang ilmu Islam (fiqih)

3. Pemikiran
a)        Sejarah Filsafat Islam
Sejarah dan Filsafat Islam perlu kita kaji sedetail mungkin, karena ini adalah sebahagian dari ilmu yang mayoritas berkembang lambat laun dan banyak orang belum memahami tentang sejarah dan perkembangan filsafat dalam Islam, karena sejarah dan filsafat Islam adalah satu dari sekian banyak  ilmu yang sukar didalami.
Meski pada umumnya Filsafat Islam dipercayai sebagai berawal dari Al-Kindi (801-873), tetapi ada catatan bahwa orang Islam yang pertama yang disebut sebagai filosof adalah Iransyahri. Pemilihan Al-Kindi sebagai filosof pertama dalam sejarah Islam tentu terkait dengan kenyataan bahwa Al-Kindi lah orang yang pertama yang berusaha merumuskan secara sistematis  apa itu filsafat Islam. Dia memang dikenal sebagai orang Mu’Tazili (pengikut Mazhab Rasionalistik dalam teologi Islam), karena posisinya sebagai filosof awal Islam dan dialah yang menulis buku (Al-Falasafah Au-l-‘Ula). Dalam buku ini Al-Kindi menunjukkan bahwa concern (Filsafat Pertama) atau Metafisika, sesungguhnya sama dengan teologi, yakni tentang Tuhan.
Dalam sejarah dan perkembangan Filsafat dalam teologi Islam, penulis akan menguraikan secara umum tahapan perkembangannya :
-          Filosofis Al-Kindi  pada tahun (801-873). Pada masa awal Islam filsafat ini berkembang secara perlahan-lahan, hingga dapat mempengaruhi beberapa tokoh Islam pada masa itu, sebagai bukti bahwa disini mulanya filsafat Islam, Al-Kindi pernah menulis sebuah buku yang berjudul (Al-Falasafah Au-l-‘Ula).
-          Filosofis Al-Farabi  pada Tahun (870-950).  Pada masa ini Al-Farabi dikenal sebagai tokoh filosofi Islam yang mengambil teori berfilsafat dari Al-Kindi dan dikembangkan melalui karya karyanya.
-          Filosofis Ibnu Sina  pada tahun (980-1037). Pada masa ini Ilmu filsafat Islam dikembangkan oleh Ibnu Sina menjadi berbagai demensi kedesiplinan Ilmu dalam filsafat Islam, sehingga Ibnu Sina berhak mendapat julukan sebagai Filosofis Peripatetik muslim orang barat menyebutkan Par Excellennce  , padahal pada masa itu Ibnu Sina baru berusia sepuluh Tahun, dan dan ia mahir dalam mendalami ilmu kedokteran disaat usianya enam belas tahun , Ibnu Sina pernah berguru kepada Al-Farabi dalam ilmu Filsafat, sebagaimana yang tercantum dalam autobiografinya; ia terang-terangan mengakui berutang budi kepada Al-Farabi, dan ada juga pendapat Ibnu Sina yang bertentangan dengan pendapat Al-Farabi tentang filsafat.

Kemudian berbagai masalah dalam filsafat Yunani mendapat kesempatan untuk dikembangkan lebih jauh dalam lingkungan pemikiran Islam. Dan setelah itu barulah muncul para tokoh-tokoh filsafat dalam Islam diantaranya adalah tokoh Filsafat dari Negara Andalusia, seperti Ibnu Bajjah, Ibnu Thufa’il dan Sebagainya.
Dari uraian diatas sengaja penulis membahas sejarah dan perkembangan filsafat dalam teologi Islam secara umum yakni hanya menyebutkan tiga tokoh Filosofi dalam Islam, karena ketiga tokoh ini orang yang pertama sekali mengembangkan ilmu filsafat dalam Islam sesuai dengan perkembangannya dan ketiga tokoh filosofi ini dalam mengembangkan Ilmu Filsafatnya tidak terlepas  dari teori Aristotelian dan Plato yang disebut dengan Neo-Platonik. Pengikut Plato dikenal dengan sebutan Neo-Platonisme dan didirikan oleh seorang Mesir, Ammonius Saccas, tokoh aliran Neo-Platonisme adalah Plato. Aliran ini menjadi pengaruh besar terhadap perkembangan pemikiran dalam Islam.
Perkembangam filsafat dalam Islam yang sangat terkenal dalam dunia pendidikan berkembang pada dua wilayah yaitu wiliyah  Islam Timur dan wilayah Islam Barat, dari Islam Timur dipromotori oleh  filoshofy : Al-Kindi, Al-Razi, Al-farabi, Ikhwan Al-shafa, Ibnu Maskawaih, Ibnu Sina, Al-Ghazali dan Suhrawadi Al-Maqthul. Dari Islam barat : Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd, untuk kejelasanya silahkan baca buku Filsafat Islam karangan K-H. Musthofa. .Cikal bakal sejarah perkembangan filsafat Islam lahir dari para ahli pikir (para filoshofy), dan hasil pemikiran mereka patut diacung jempol, mayoritas karangan para filsofy muslim menjadi pijakan awal bagi para tokoh-tokoh islam zaman sekarang.oleh karena demikian kontribusi para filshofy muslim zaman dahulu ,untuk bangsa sangat baik kususnya dalam dunia pendidikan.

b)    Fiqih
Pemikiran Musa al-sadr terpusat pada  pentingnya pendekatan fikih.
Dalam pandangan Imam Musa Al-Shadr, semua upaya dan usaha pada pentingnya pendekatan fikih  merupakan langkah positif, suci dan suatu keniscayaan dalam mewujudkan persatuan umat Islam. Bagi beliau, kita tidak boleh berasumsi bahwa kita telah menjalankan langkah terakhir di jalan ini. Beliau memiliki pandangan khusus dalam metodenya yang disebut taqrib fiqhi (pendekatan fikih). Beliau selalu berkata, “Fiqh tathbiqî (fikih penerapan) adalah bibit mulia yang menentukan metode pendekatan fikih dan persatuan hukum syariat.”
Jadi menurut beliau, langkah para pendahulu kita merupakan sarana terbaik bagi kita di zaman sekarang untuk mengembangkan pendekatan fikih. Imam Musa Ash-Shadr menganggap diskusi antar-tokoh mazhab, penulisan buku dan artikel, dan upaya-upaya semacam itu masihlah belum optimal. Beliau menganggap taqrib fiqhi sebagai penyempurna upaya kita dalam mewujudkan persatuan umat Islam.
Jelas sekali maksud Imam Musa Al-Shadr tentang pendekatan fikih bukan berarti tidak boleh ada perbedaan fatwa di kalangan fukaha, karena itu sama sekali tidak masuk akal. Menurut beliau, bahkan perbedaan pendapat umat dalam pemikiran adalah rahmat, sebagaimana sebuah hadis menyatakan hal itu. Justru perbedaan pemikiran dan pandangan ilmiah akan membawa berkah dan kemajuan bagi para mujtahid. Namun jika perbedaan itu keluar dari ruang lingkup teori dan keilmuan dan menjadi syiar serta fatwa yang harus diamalkan setiap umat, maka persengketaan, perselisihan, dan buruk sangka tidak dapat dihindarkan. Oleh karenanya, sebisa mungkin dampak negatif tersebut harus dihindari.
Sebagai seorang fakih, filsuf dan pakar dalam masalah agama, Imam Musa Ash-Shadr selalu waspada dalam mengikuti perkembangan masalah-masalah sosial-politik Timur Tengah, Dunia Islam dan Barat. Beliau memiliki hubungan yang baik dengan tokoh-tokoh kedua belah pihak. Beliau sangat menyadari kelemahan dan kekurangan masyarakat muslim. Baginya adalah suatu hal yang sangat disayangkan sekali bahwa setiap tahun umat Islam melaksanakan ibadah haji bersama-sama dengan begitu megah, namun dikarenakan perbedaan-perbedaan partikular mereka rela menanggalkan persatuan dan kehilangan kekuatannya. Beliau selalu memikirkan cara bagaimana agar umat Islam tidak berselisih hanya karena masalah melihat hilal, dan sebagai gantinya hendaklah kaum Muslimin mengerahkan tenaganya di bidang kemajuan iptek sehingga terwujud kembali keagungan Islam.
Begitu tinggi angan-angan Imam Musa Al-Shadr dalam mewujudkan persatuan sampai-sampai beliau ingin melihat umat Islam melakukan salat berjemaah, mengumandangkan azan, dan merayakan hari raya di satu waktu yang sama. Karena menurut beliau, kebersamaan dan persatuan ini lebih dahsyat ledakannya daripada bom atom sekalipun, khususnya bagi negara-negara adidaya; dan juga merupakan jaminan kuatnya Islam dan kaum Muslimin di hadapan tipu muslihat dan siasat musuh untuk selamanya.
Pada tanggal 27 Rajab 1389 H yang bertepatan dengan hari biksah (hari pengangkatan Nabi saw. sebagai utusan Allah Swt.) untuk pertama kalinya beliau mengutarakan suara hatinya ini dalam sepucuk surat kepada Syekh Hasan Khalid, Mufti Suni Lebanon. Kemudian pada bulan Zulhijah di tahun yang sama, beliau hadir pada konfrensi tahunan “Majma’ Buhuts Islami” dan menjelaskan pandangannya di hadapan tokoh terkemuka dunia Islam. Pandangan beliau mendapat sambutan yang cukup hangat; dan karena itu pula beliau diterima menjadi anggota tetap lembaga ini.
Dalam wawancara bersama majalah Al-Mushawir cetakan Kairo, dalam menjawab sebuah pertanyaan tentang persatuan, lagi-lali beliau menekankan masalah pendekatan fikih seraya berkata: “Hal itu (persatuan umat) akan terwujud jika pendekatan dan persatuan fikih telah terwujud sebelumnya. Persatuan tidak akan terwujud hanya dengan diadakannya konferensi-konferensi antar tokoh mazhab-mazhab. Saya menaruh harapan akan terwujudnya pendekatan fikih kepada lembaga yang terdiri dari tokoh-tokoh berbagai mazhab ini. Kairo juga seharusnya menunjukkan kemampuannya dalam bidang ini, karena Kairo memiliki posisi yang begitu strategsi di dunia Islam.”
Imam Musa Al-Shadr memanfaatkan segala kesempatan seoptimal mungkin dan beliau selalu merundingkan masalah ini dengan tokoh-tokoh dari berbagai mazhab dan juga para pakar politik dunia Islam. Pada tahun berikutnya, yakni pada tanggal 19 April 1971 seusai mengikuti konferensi keenam Majma’ Buhuts Islami di Kairo, dalam pertemuannya dengan para tentara di Terusan Suez, seraya menekankan jihad melawan Israel, untuk kesekian kalinya beliau menekankan pendekatan fikih dan meneriakkan motto “Persatuan adalah syiar agamaku!”
Pada tahun 1973 saat beliau menghadiri konferensi “Mengenal Pemikiran Islam”, dalam wawancaranya bersama majalah Al-Mujahid, beliau juga menekankan kembali prinsip persatuan tersebut.

c)     Alam
Dalam menikmati keindahan alam, Allah memberikan akal kepada manusia sebagai remot kontrol dalam menjalani kehidupan, hidup ini adalah kesempatan menikmati kebesaran tuhan, betafa indahnya kalau akal ini kita selaraskan dengan Nafsu Mutma’innah ( nafsu nan suci) yang ada dalam diri manusia terdapat dalam lubuk hati paling dalam (Latifah Rabbaniyah), sebaliknya jika manusia berfikir menuruti hawa nafsu (nafsu syaitan), maka ia akan terjerumus dalam lembah kesesatan yang nyata.
Alam selalu berubah, berkembang (mutaghayir) tetapi tidak berubah secara spontanitas karena yang sanggup merubahkan alam ini secara spontanitas adalah Tuhan Rabbu jalil swt. Banyak Manuia mendewakan akal dan mengagungkan akal (ra’y) karena akal mampu merubah nasip manusia tampa harus mensandarkan diri siapa sang pencipta akal tersebut, manusia seperti ini dikatagorikan dalam kesesatan

Previous
« Prev Post

No comments:

Post a Comment