1. Riwayat hidup singkat
Musa al-Sadr lahir di Qum, Iran, pada tahun 1928,
putra seorang pemimpin Muslim yang penting dalam agama Syiah, Ayatullah Sadr
al-Din Sadr. Dia masuk sekolah dasar dan menengah di Qum dan perguruan tinggi
di Teheran. Dia tidak berniat untuk mempelajari agama, namun dengan desakan
ayahnya, ia membuang ambisi sekuler dan mengejar pendidikan dalam hukum Islam
(fikih). Awalnya, ia belajar di sebuah madrasah Qum (sekolah agama), dan
sementara masih di Qum ia membantu membuat majalah, Makatib-i Islami (Sekolah
Islam), yang masih diterbitkan di Iran. Satu tahun setelah kematian ayahnya
pada tahun 1953, ia pindah ke Najaf, Irak, di mana dia belajar di bawah
Ayatullah Muhsin al-Hakim.
Musa al-Sadr (1928-1978.), Yang dikenal sebagai
Imam Musa, adalah Muslim Syiah religius dan pemimpin yang berperan politik
dalam meningkatkan banyak kaum Syiah biasa di Lebanon Selatan sekaligus
mengurangi kekuatan elit Syiah. Al-Sadr pada tahun 1978 menghilang secara
misterius dan dianggap tewas.
2. Karya-karyanya
Selama masa hidupnya Musa al-sadr membuat beberapa karya,
diantaranya
a)
فلسفة تاريخ الإسلام (History 's Philosophy of Islam).
Berisi tentang sejarah dari filsafat Islam.
b)
Magazine Makatib-i
Islami
Adalah buku pelajaran sekolah yang berisi tentang ilmu Islam
(fiqih)
3. Pemikiran
a)
Sejarah
Filsafat Islam
Sejarah dan Filsafat Islam perlu kita kaji sedetail mungkin,
karena ini adalah sebahagian dari ilmu yang mayoritas berkembang lambat laun
dan banyak orang belum memahami tentang sejarah dan perkembangan filsafat dalam
Islam, karena sejarah dan filsafat Islam adalah satu dari sekian banyak
ilmu yang sukar didalami.
Meski pada umumnya Filsafat Islam dipercayai sebagai berawal dari
Al-Kindi (801-873), tetapi ada catatan bahwa orang Islam yang pertama yang
disebut sebagai filosof adalah Iransyahri. Pemilihan Al-Kindi sebagai filosof
pertama dalam sejarah Islam tentu terkait dengan kenyataan bahwa Al-Kindi lah
orang yang pertama yang berusaha merumuskan secara sistematis apa itu
filsafat Islam. Dia memang dikenal sebagai orang Mu’Tazili (pengikut Mazhab
Rasionalistik dalam teologi Islam), karena posisinya sebagai filosof awal Islam
dan dialah yang menulis buku (Al-Falasafah Au-l-‘Ula). Dalam buku ini Al-Kindi
menunjukkan bahwa concern (Filsafat Pertama) atau Metafisika, sesungguhnya sama
dengan teologi, yakni tentang Tuhan.
Dalam sejarah dan perkembangan Filsafat dalam teologi Islam,
penulis akan menguraikan secara umum tahapan perkembangannya :
-
Filosofis Al-Kindi pada
tahun (801-873). Pada masa awal Islam filsafat ini berkembang secara
perlahan-lahan, hingga dapat mempengaruhi beberapa tokoh Islam pada masa itu,
sebagai bukti bahwa disini mulanya filsafat Islam, Al-Kindi pernah menulis sebuah
buku yang berjudul (Al-Falasafah Au-l-‘Ula).
-
Filosofis Al-Farabi pada
Tahun (870-950). Pada masa ini Al-Farabi dikenal sebagai tokoh filosofi
Islam yang mengambil teori berfilsafat dari Al-Kindi dan dikembangkan melalui
karya karyanya.
-
Filosofis Ibnu Sina pada
tahun (980-1037). Pada masa ini Ilmu filsafat Islam dikembangkan oleh Ibnu Sina
menjadi berbagai demensi kedesiplinan Ilmu dalam filsafat Islam, sehingga Ibnu
Sina berhak mendapat julukan sebagai Filosofis Peripatetik muslim orang barat
menyebutkan Par Excellennce , padahal pada masa itu Ibnu Sina baru
berusia sepuluh Tahun, dan dan ia mahir dalam mendalami ilmu kedokteran disaat
usianya enam belas tahun , Ibnu Sina pernah berguru kepada Al-Farabi dalam ilmu
Filsafat, sebagaimana yang tercantum dalam autobiografinya; ia terang-terangan
mengakui berutang budi kepada Al-Farabi, dan ada juga pendapat Ibnu Sina yang
bertentangan dengan pendapat Al-Farabi tentang filsafat.
Kemudian berbagai masalah dalam filsafat Yunani mendapat
kesempatan untuk dikembangkan lebih jauh dalam lingkungan pemikiran Islam. Dan
setelah itu barulah muncul para tokoh-tokoh filsafat dalam Islam diantaranya
adalah tokoh Filsafat dari Negara Andalusia, seperti Ibnu Bajjah, Ibnu Thufa’il
dan Sebagainya.
Dari uraian diatas sengaja penulis membahas sejarah dan
perkembangan filsafat dalam teologi Islam secara umum yakni hanya menyebutkan
tiga tokoh Filosofi dalam Islam, karena ketiga tokoh ini orang yang pertama
sekali mengembangkan ilmu filsafat dalam Islam sesuai dengan perkembangannya
dan ketiga tokoh filosofi ini dalam mengembangkan Ilmu Filsafatnya tidak
terlepas dari teori Aristotelian dan Plato yang disebut dengan
Neo-Platonik. Pengikut Plato dikenal dengan sebutan Neo-Platonisme dan
didirikan oleh seorang Mesir, Ammonius Saccas, tokoh aliran Neo-Platonisme
adalah Plato. Aliran ini menjadi pengaruh besar terhadap perkembangan pemikiran
dalam Islam.
Perkembangam filsafat dalam Islam yang sangat terkenal dalam dunia
pendidikan berkembang pada dua wilayah yaitu wiliyah Islam Timur dan
wilayah Islam Barat, dari Islam Timur dipromotori oleh filoshofy :
Al-Kindi, Al-Razi, Al-farabi, Ikhwan Al-shafa, Ibnu Maskawaih, Ibnu Sina,
Al-Ghazali dan Suhrawadi Al-Maqthul. Dari Islam barat : Ibnu Bajjah, Ibnu
Thufail dan Ibnu Rusyd, untuk kejelasanya silahkan baca buku Filsafat Islam
karangan K-H. Musthofa. .Cikal bakal sejarah perkembangan filsafat Islam lahir
dari para ahli pikir (para filoshofy), dan hasil pemikiran mereka patut diacung
jempol, mayoritas karangan para filsofy muslim menjadi pijakan awal bagi para
tokoh-tokoh islam zaman sekarang.oleh karena demikian kontribusi para filshofy
muslim zaman dahulu ,untuk bangsa sangat baik kususnya dalam dunia pendidikan.
b)
Fiqih
Pemikiran Musa al-sadr terpusat pada pentingnya pendekatan fikih.
Dalam pandangan Imam Musa Al-Shadr, semua upaya dan usaha pada pentingnya pendekatan fikih
merupakan langkah positif, suci dan suatu keniscayaan dalam mewujudkan
persatuan umat Islam. Bagi beliau, kita tidak boleh berasumsi bahwa kita telah
menjalankan langkah terakhir di jalan ini. Beliau memiliki pandangan khusus
dalam metodenya yang disebut taqrib
fiqhi (pendekatan fikih).
Beliau selalu berkata, “Fiqh tathbiqî (fikih
penerapan) adalah bibit mulia yang menentukan metode pendekatan fikih dan
persatuan hukum syariat.”
Jadi menurut beliau, langkah para pendahulu kita merupakan sarana
terbaik bagi kita di zaman sekarang untuk mengembangkan pendekatan fikih. Imam Musa
Ash-Shadr menganggap
diskusi antar-tokoh mazhab, penulisan buku dan artikel, dan upaya-upaya semacam
itu masihlah belum optimal. Beliau menganggap taqrib
fiqhi sebagai penyempurna
upaya kita dalam mewujudkan persatuan umat Islam.
Jelas sekali maksud Imam Musa Al-Shadr tentang pendekatan fikih
bukan berarti tidak boleh ada perbedaan fatwa di kalangan fukaha, karena itu
sama sekali tidak masuk akal. Menurut beliau, bahkan perbedaan pendapat umat
dalam pemikiran adalah rahmat, sebagaimana sebuah hadis menyatakan hal itu.
Justru perbedaan pemikiran dan pandangan ilmiah akan membawa berkah dan
kemajuan bagi para mujtahid. Namun jika perbedaan itu keluar dari ruang lingkup
teori dan keilmuan dan menjadi syiar serta fatwa yang harus diamalkan setiap
umat, maka persengketaan, perselisihan, dan buruk sangka tidak dapat
dihindarkan. Oleh karenanya, sebisa mungkin dampak negatif tersebut harus
dihindari.
Sebagai seorang fakih, filsuf dan pakar dalam masalah agama, Imam
Musa Ash-Shadr selalu waspada dalam mengikuti perkembangan masalah-masalah
sosial-politik Timur Tengah, Dunia Islam dan Barat. Beliau memiliki hubungan
yang baik dengan tokoh-tokoh kedua belah pihak. Beliau sangat menyadari
kelemahan dan kekurangan masyarakat muslim. Baginya adalah suatu hal yang
sangat disayangkan sekali bahwa setiap tahun umat Islam melaksanakan ibadah
haji bersama-sama dengan begitu megah, namun dikarenakan perbedaan-perbedaan
partikular mereka rela menanggalkan persatuan dan kehilangan kekuatannya.
Beliau selalu memikirkan cara bagaimana agar umat Islam tidak berselisih hanya
karena masalah melihat hilal, dan sebagai gantinya hendaklah kaum Muslimin
mengerahkan tenaganya di bidang kemajuan iptek sehingga terwujud kembali
keagungan Islam.
Begitu tinggi angan-angan Imam Musa Al-Shadr dalam mewujudkan
persatuan sampai-sampai beliau ingin melihat umat Islam melakukan salat
berjemaah, mengumandangkan azan, dan merayakan hari raya di satu waktu yang
sama. Karena menurut beliau, kebersamaan dan persatuan ini lebih dahsyat
ledakannya daripada bom atom sekalipun, khususnya bagi negara-negara adidaya;
dan juga merupakan jaminan kuatnya Islam dan kaum Muslimin di hadapan tipu
muslihat dan siasat musuh untuk selamanya.
Pada tanggal 27 Rajab 1389 H yang bertepatan dengan hari biksah
(hari pengangkatan Nabi saw. sebagai utusan Allah Swt.) untuk pertama kalinya
beliau mengutarakan suara hatinya ini dalam sepucuk surat kepada Syekh Hasan Khalid, Mufti Suni
Lebanon. Kemudian pada bulan Zulhijah di tahun yang sama, beliau hadir pada
konfrensi tahunan “Majma’ Buhuts Islami” dan menjelaskan pandangannya di
hadapan tokoh terkemuka dunia Islam. Pandangan beliau mendapat sambutan yang
cukup hangat; dan karena itu pula beliau diterima menjadi anggota tetap lembaga
ini.
Dalam wawancara bersama majalah Al-Mushawir cetakan Kairo, dalam menjawab sebuah
pertanyaan tentang persatuan, lagi-lali beliau menekankan masalah pendekatan
fikih seraya berkata: “Hal itu (persatuan umat) akan terwujud jika pendekatan
dan persatuan fikih telah terwujud sebelumnya. Persatuan tidak akan terwujud
hanya dengan diadakannya konferensi-konferensi antar tokoh mazhab-mazhab. Saya
menaruh harapan akan terwujudnya pendekatan fikih kepada lembaga yang terdiri
dari tokoh-tokoh berbagai mazhab ini. Kairo juga seharusnya menunjukkan
kemampuannya dalam bidang ini, karena Kairo memiliki posisi yang begitu
strategsi di dunia Islam.”
Imam Musa Al-Shadr memanfaatkan segala kesempatan seoptimal
mungkin dan beliau selalu merundingkan masalah ini dengan tokoh-tokoh dari
berbagai mazhab dan juga para pakar politik dunia Islam. Pada tahun berikutnya,
yakni pada tanggal 19 April 1971 seusai mengikuti konferensi keenam Majma’
Buhuts Islami di Kairo, dalam pertemuannya dengan para tentara di Terusan Suez, seraya
menekankan jihad melawan Israel, untuk kesekian kalinya beliau menekankan
pendekatan fikih dan meneriakkan motto “Persatuan adalah syiar agamaku!”
Pada tahun 1973 saat beliau menghadiri konferensi “Mengenal
Pemikiran Islam”, dalam wawancaranya bersama majalah Al-Mujahid, beliau juga
menekankan kembali prinsip persatuan tersebut.
c)
Alam
Dalam menikmati keindahan alam, Allah memberikan akal kepada
manusia sebagai remot kontrol dalam menjalani kehidupan, hidup ini adalah
kesempatan menikmati kebesaran tuhan, betafa indahnya kalau akal ini kita
selaraskan dengan Nafsu Mutma’innah ( nafsu nan suci) yang ada dalam diri
manusia terdapat dalam lubuk hati paling dalam (Latifah Rabbaniyah), sebaliknya
jika manusia berfikir menuruti hawa nafsu (nafsu syaitan), maka ia akan
terjerumus dalam lembah kesesatan yang nyata.
Alam selalu berubah, berkembang (mutaghayir) tetapi tidak berubah
secara spontanitas karena yang sanggup merubahkan alam ini secara spontanitas
adalah Tuhan Rabbu jalil swt. Banyak Manuia mendewakan akal dan mengagungkan
akal (ra’y) karena akal mampu merubah nasip manusia tampa harus mensandarkan
diri siapa sang pencipta akal tersebut, manusia seperti ini dikatagorikan dalam
kesesatan
No comments:
Post a Comment