1.1 Konsep Diri Independent
Independent construal of the self didasarkan pada dominan budaya Barat yang menyatakan bahwa individu terpisah secara inheren. Konsep diri Independen menekankan tujuan pribadi, karakteristik, prestasi, dan keinginan. Individu dengan konsep diri yang independen cenderung individualistik, egosentris, otonom, mandiri, dan mandiri. Mereka mendefinisikan diri mereka dalam hal apa yang mereka lakukan, apa yang mereka miliki, dan karakteristik pribadi mereka (Hawkins, Mothersbaugh, & Best, 2007).
Konsep diri penting dalam semua budaya. Namun, aspek-aspek dari diri yang paling dihargai dan perilaku lainnya bervariasi diseluruh budaya. Konsep independent diri yang didasarkan pada keyakinan budaya barat mengatakan bahwa individu yang secara inheren terpisah. Konsep diri yang independent menekankan pada tujuan pribadi, karakteristik, kekuatan dan keinginan. Individu dengan konsep diri independent cenderung individualisitis, egosentris, otonom dan mandiri. Mereka mendefenisikan diri mereka pada apa yang mereka lakukan, apa yang mereka miliki dan karakteristik pribadi mereka.
Apa yang dimaksud dan dipahami sebagai diri konsep diri berbeda dalam setiap budaya. Meski perbedaan tersebut sering tak terlihat sama seperti saat manusia juga tidak menyadari perasaan dirinya dan bagaimana perasaan akan diri itu dapat mempengaruhi hidup seseorang. Perbedaan dalam memandang diri akan terlihat ketika individu-individu dari berbagai latar belakang budaya yang memiliki rasa akan diri yang berbeda ini berkumpul atau bertemu satu sama lain.
Budaya dan diri individual mendesain dan menyeleksi sejarah manusia agar tidak bergantung pada anggota atau masyarakat lain. Menurut konstruk diri individual manusia didorong untuk membangun konsep diri yang terpisah dari orang lain termasuk dalam tujuan keberhasilan yang cenderung lebih mengarah pada tujuan diri individu.
Menurut kerangka ini, nilai kesuksesan dan harga diri mengambil bentuk individualism. Jadi ketika seseorang berhasil melaksanakan tugas tanpa tergantung pada orang lain orang tersebut akan merasa lebih puas dan harga diri mereka akan meningkat. Keberhasilan individu adalah berkat usaha individu itu, sehingga diri dan masyarakat akan bengga karena seorang individu mampu maraih sukses tanpa bantuan orang lain.
1.2 Konsep diri interdependen
Berbeda dengan itu, banyak kebudayaan non-Barat yang tidak mengasumsikan ataupun menghargai keterpisahan yang kentara tersebut. Sebaliknya, budaya-budaya ini menekankan pada apa yang barangkali bisa disebut “kesalingterkaitan yang mendasar pada manusia.” Tugas normatif utama dalam budaya-budaya non-Barat adalah melakukan penyesuaian diri untuk menjadi pas dan mempertahankan interdependensi diantara individu. Dengan demikian, banyak individu dalam budaya-budaya ini yang dibesarkan untuk ”menyesuaikan diri dengan orang dalam suatu hubungan atau kelompok,” “membaca maksud orang lain,” “menjadi orang yang simpatik,” “menempati dan menjalani peran yang diberikan pada diri kita,” “bertindak secara pantas,” dan sebagainya. Hal-hal ini adalah tugas-tugas kultural yang dirancang dan terseleksi lewat sejarah suatu kelompok budaya untuk mendorong terjadinya interdependensi antara diri dengan orang lain.
Konsekuensi terhadap Kognisi, Emosi, dan Motivasi
2.1 Konsekuensi terhadap kognisi
Mengenal dan memahami orang dari budaya lain dari perspektif mereka sendiri menjadi hal yang semakin penting kalau kita ingin menjadi peserta dunia yang efektif.
Persepsi diri. Pemahaman diri yang berbeda punya konsekuensi terhadap bagaimana kita mempersepsi diri kita. Dengan pengalaman diri yang independen, atribut-atribut internal menjadi informasi paling penting dan paling relevan dengan diri. Atribut- atribut internal ini relatif kurang penting bagi mereka yang memiliki pemahaman diri yang interdependen, yang memikirkan diri lebih dalam konteks tertentu. Sesuai dengan pandangan kita tentang diri yang independen dan interdependen, subjek-subjek Amerika cenderung lebih sering menulis sifat-sifat abstrak dari pada subjek Asia (Bond & Tak-Sing,1983; Shweder & Bourne, 1984). Persepsi diri. Pemahaman diri yang berbeda punya konsekuensi terhadap bagaimana kita mempersepsi diri kita. Atribut-atribut internal ini relatif kurang penting bagi mereka yang memiliki pemahaman diri yang interpenden, yang memikirkan diri dari lebih dalam konteks hubungan tertentu.
Penjelasan sosial. Pemahaman diri juga dapat menjadi “template kognisi” yang mendasari persepsi dan interpretasi terhadap perilaku orang lain. Pada orang-orang dari budaya interpenden, kekeliruan atribusi mendasar ini sepertinya tidak terlalu nampak atau banyak terjadi.
Dalam sebuah penelitian lintas-budaya yang penting Miller (1984) memeriksa pola-pola penjelasan sosial pada orang Amerika dan orang Hindu India.
2.2 Konsekuensi terhadap Motivasi
Perbedaan cultural dalam pemahaman diri juga mempengaruhi motivasi. Motivasi seseorang untuk berprestasi atau mencapai sesuatu, untuk berafiliasi, atau untuk mendominasi adalah beberapa diantara cirri diri internal yang paling ketara dan penting, cirri-ciri yang mengarahkan dan member energy pada perilaku Nampak. Tapi pada pemahaman diri yang berbeda, yang bersifat independen, perilaku sosial dipandu oleh harapan-harapan dari orang lain yang berkait, oleh kewajiban-kewajiban kepada orang lain, atau oleh beban tugas pada kelompok penting yang di situ seseorang menjadi salah satu anggotanya, dan bukan oleh motivasi-motivasi demi “diri” atau “saya”. Hal ini tergambar dalam dua topik yang telah banyak mendapat sorotan penelitian, yaitu:
1. Motivasi berprestasi (Achievement Motivation)
Motivasi berprestasi mengacu pada pengertian “hasrat akan pencapaian yang unggul”. Hasrat semacam ini dalam pengertiannya yang luas bisa dijumpai di cukup banyak budaya (Maehr & Nicholls, 1980). Namun dalam literature yang lebih baru, hasrat akan keunggulan ini dikonseptualisasikan secara lebih spesifik yakni sebagai hasrat yang berakar pada individu atau pribadi, dan tidak berakar secara sosial atau interpersonal. Dalam karya klasik di bidang ini oleh McClelland pada tahun 1961 DAN Atkinson pada tahun 1964, misalnya, hasrat akan keunggulan erat dikaitkan dengan kecenderungan seseorang untuk mendorong diri maju dan secara aktif memperjuangkan kesuksesan individual. Konsep tentang prestasi atau pencapaian seperti ini sebenarnya lebih dekat dengan pemahaman diri indipenden yang banyak dianut di Barat.
Dari kerangka yang berbeda, atau dari kerangka pemahaman interdependen, keunggulan dikejar melalui tujuan-tujuan sosial yang lebih luas. Bentuk-bentuk motivasi berprestasi yang bersifat sosial ini lebih banyak di temui pada masyarakan dengan pemahaman diri interdependen. Diri yang interdependen selalu memiliki pehatian penting yang berputar disekitar kesadaran akan keterikatan atau hubungan diri dengan orang lain. Dengan demikian sifat dari motivasi berprestasi mereka agak berbeda dari orang-orang dengan pemahaman diri yang independen.
Dalam pembahasannya tentang kemungkinan ini pada masyarakan Cina, yang (1982) membadakan antara 2 jenis metivasi berprestasi yang berorientasi individu dan yang berorientasi sosial (cf. Maehr & Nicholls, 1980). Prestasi yang berorientasi individu di pandang sebagai sesuatu yang umum terutama di budaya barat, di barat, orang mengejar suatu prestasi atau pencapaian semata demi “diri” pribadi. Di masyarakat Cina, yang jauh lebih umum ditemui adalah prestasi atau pencapaian yang berorientasi sosial. Menurut bentuk prestasi ini, orang berjuang untuk menggapai prestasi demi orang-orang lain yang berkait, seperti keluarga. Seorang siswa Cina, misalnya, bekerja keras untuk bisa diterima disebuah Universitas bergengsi dan kemudian untuk memasuki sebuah perusahaan yang unggul. Ditinjau dan perilakunya mungkin siswa Cina tersebut tak berbeda dengan ORANG Amerika yang juga berjuang untuk sukses di sekolah dan di dunia kerja. Tapi dalam kasus si individu Cina ini, sasaran utama dalam melakukan semua itu barangkali bukanlah untuk memajukan karir pribadinya, melaikan sesuatu yang lebih bersifat kolektif atau interdependen. Tujuan-tujuan interdependen ini mungkin ini adalah untuk menaikkan status sosial keluarga memenuhi keluarga harapan anggota keluarga , atau menuntaskan perasaan berhutang atau berkewajiban pada orang tua yang telah melakukan pengorbanan luar biasa untuk membesarkan dan mendukung siswa tersebut dengan kata lain membesarkan dan medukung siswa tersebut dengan kata lain hasrat siswa Cina ini untuk berhasil atau berprestasi lebih berakar sosial dan tidak harus mencerminkan hasratnya untuk menaikan kualitas atau posisi dirinya secara personal.
Mendukung pemahaman ini, Bond (1986) mengungkap beberapa macam motivasi pada orang Cina dan menemukan bahwa orang Cina memang menunjukkan tingkat leih tinggi dalam motivasi-motivasi berprestasi yang bersifat sosial dari pada yang bersifat individual.
Pengamatan serupa juga tampak di sebuah di kebudayaan interdependen lain, Jepang. K. Doi (1982, 1985) mengajukan 30 pertanyaan pada mahasiswa Jepang yang dirncang untuk mengukur kecenderungan untuk terus mengejar dan memperjuangkan pencapaian, atau dengan kata lain, kecenderungan berprestasi. Sejumlah 30 pertanyaan lain diajukan untuk mengukur keinginan untuk mengasihi dan dikasihi oleh orang lain (yakni, kecenderungan berafiliasi). Hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan yang dekat antara motivasi berprestasi dengan afiliasi. Mereka yang tinggi motivasi berprestasinya juga tinggi kecenderungan afiliasinya, dan sebaliknya. Temuan ini dapat dibedakan dengan banyak temuan di barat yang menunjukkan bahwa kedua dimensi motivasi ini biasanya tidak berkorelasi (cf. Atkinson, 1964). Baik kajian di Cina maupun di Jepang ini bahwa prestasi atau pencapaian erat kaitannya dengan orientasi sosial untuk terhubung dan saling bergantung (interdependen) dengan orang lain yang penting dalam hidup mereka.
2. Self-enhancement (Peningkatan diri) Vs self-effacement (pengkerdilan diri)
Semenjan James (1890), ahli-ahli psikologi telah berkali-kali menunjukkan apa yang nampaknya merupakan sesuatu motivasi yang amat kuat untuk memandang diri secara positif. Sejak usia sedini 4 tahun anak-anak Amerika sudah memandang bahwa di Amerika lebih baik daripada kebanyakan orang. Wylie (1979) menemukan bahwa orang Amerika dewasa biasanya menganggap diri mereka lebih cerdas dan lebih menarik dari pada orang rata-rata.
Bagi masyarakat dengan pemahaman diri yang interdependent, tindakan mempertahankan atau meningkatkan diri barangkali punya bentuk yang berbeda. Pada orang-orang dengan pemahaman diri interdependen, pengakuan positif atas atribut-atribut internal diri belum tentu erat terkait dengan harga diri atau kepuasan diri secara umum. Harga diri atau kepuasan diri umum mungkin lebih terkait dengan tindakan memenuhi interdependensi diri dengan orang lain.
Dalam kerangka pemahaman diri interdependen, penghargaan atau kepuasan diri umum mungkin berasal dari pengakuan bahwa seseorang telah berhasil dalam melakukkan tugas-tugas cultural yang terkait dengan keanggotaan, penyesuaian diri bertindak secara pantas, mendukung tujuan orang lain, mempertahankan harmoni dan seterusnya. Harga diri atau kepuasan diri juga bisa berasal dari kemampuan seseorang untuk mengatur dan mengkoordinasikan pikiran-pikiran dan perasaan internalnya agar bisa cocok dengan upayanya untuk memenuhi interdependensi dengan orang lain. Diri yang interdependen tidak perlu memandang dirinya unik atau berbeda untuk biasa memelihara harga dirinya. Penjelasannya adalah atribut-atribut internal yang terkait dengan presepsi tentang keunikan diri tidak begitumenentukan. Berusaha menjadi unik adalah yang kurang baik menurut orang lain seperti paku yang kurang tertanam karena hal itu akan mengisolasi seseorang dari hubungan yang teramat penting.
2.3 Konsekuensi terhadap emosi
Pemahaman diri yang berbeda punya beberapa konsekuensi penting terhadap pengalaman emosional. Dalam beberapa decade terakhir ini, emosi lebih banyak dikaji sebagai mekanisme internal yang mempertahankan kondisi homestatis dan meregulasi perilaku. Bidang kajian yang terus berkembang ini telah menunjukkan hubungan-hubungan biologis emosi, termasuk mekanisme otak atau gerakan otot wajah. Selain itu, beberapa kategori emosi seperti senang, takut, sedih, jijik, dll umum ditemui disemua budaya. Pemahaman diri yang berbeda bisa memiliki beberapa dampak yang berbeda pada pengalaman emosional.
Konotasi social emosi. Kitayama dan Markus (1994) membedakan antara emosi-emosi yang mendorong independensi diri dan yang mendorong interdependensi. Misalnya, beberapa emosi seperti rasa bangga atau superioritas muncul terutama saat seseorang berhasil mencapai tujuan atau keinginannya, atau setelah membuktikan atribut internal yang baik seperti kecerdasan dan kemakmuran. Begitu pula dengan emosi-emosi negative seperti marah dan frustasi yang terjadi terutama karena terhambatnya atribut internal seseorang (seperti tujuan atau keinginan).
Dalam kedua kasus ini, atribut-atribut dibuat menjadi kentara dan dikontraskan dengan konteks social yang relevan. Sebaliknya, beberapa emosi positif lain, seperti perasaan bersahabat dan penghargaan, amatlah berbeda. Hal yang penting dalam perbedaan antara emosi yang terkait dengan yang terpisah secara social bukanlah bahwa orang dengan pemahaman diri independen dan pemahaman diri interdependen akan mengalami jenis emosi yang berbeda.
Konotasi social dan emosi-emosi asli (indigenous). Meski ada banyak emosi yang sama secara lintas budaya, banyak juga yang relative unik atau khas pada kebudayaan tertentu (Russell, 1991). Menurut Lutz, secara gampangnya fago bisa digambarkan sebagai kombinasi antara perasaan kasih (compassion), cinta (love), dan kesedihan (sadness). Berbeda dengan fago, sebuah emosi Ifaluk lain, diterjemahkan sebagai kombinasi antara kegembiraan (happiness) dan kegirangan (excitement) dianggap sebagai “berbahaya”, “merusak secara social” (Lutz, 1988, hal. 145).
Analisa serupa juga bisa diterapkan pada sebuah kebudayaan non-Barat lain, Jepang. T. Doi (1973) menulis bahwa emosi amae punya peran yang menentukan untuk memahami etos (atau “iklim emosional”) kebudayaan Jepang. Kajian-kajian antropologi ini cocok dengan adanya dua jenis pemahaman diri. Bagi orang-orang dengan pemahaman diri interdependen, aspek-aspek diri yang lebih public dan intersubjektif lebih terelaborasi dalam pengalaman sadar. Bagi mereka dengan pemahaman diri independen, yang mendapat penekanan justru adalah aspek-aspek yang lebih pribadi dan subjektif.
Apakah “senang” (happiness) sama secara lintas budaya? Diluar itu, masih ada perbedaan-perbedaan lintas budaya dalam pengalaman emosional. Salah satunya terkait dengan makna senang. Kitayama, Markus, Kurokawa, dan Negishi (1993) ada tiga macam emosi, ada emosi yang bersifat generic, seperti merasa tidak tegang (relaxed), girang (elated), dan tegang (calm). Ada emosi-emosi yang memiliki konotasi social yang lebih spesifik, apakah itu konotasi itu bersifat terikat secara social (emosi yang socially engaged seperti perasaan bersahabat, hormat) maupun yang tidak (emosi yang socially disengaged seperti rasa bangga, superior).
Mereka yang mengalami emosi-emosi yang menandakan keberhasilan memenuhi tugas-tugas cultural independen (emosi-emosi yang lepas secara social seperti kebanggaan) kemungkinn besar akan merasa “secara umum baik/senang.”
SUMBER:
Dayakisni, Tri dan Salis Yuniardi, Psikologi Lintas Budaya, Malang :UMM Press, 2004
http://izzamuanies.blogspot.com/2012/11/budaya-dan-pembentukan-konsep-diri.html
http://psikology09b.blogspot.com/2011/06/konsep-diri-dan-gaya-hidup.html
No comments:
Post a Comment